JIKA MENDAPAT KESUCIAN SETELAH SHUBUH
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Jika seorang wanita mendapatkan kesucian tepat setelah waktu Shubuh, apakah ia harus tetap berpuasa pada hari itu, ataukah ia harus mengqadha puasa hari itu di hari lain .? .
Jawaban
Jika seorang wanita telah mendapatkan kesuciannya setelah terbitnya fajar, tentang keharusannya berpuasa pada hari itu, ada dua pendapat ulama, pendapat pertama : Diwajibkan baginya berpuasa pada hari itu, akan tetapi puasanya itu tidak mendapat imbalan, bahkan wajib baginya untuk mengqadha puasa, ini adalah pendapat yang masyhur di kalangan Madzhab Imam Ahmad Rahimahullah, pendapat kedua adalah : Tidak wajib baginya berpuasa pada hari itu, karena pada permulaan hari itu ia dalam keadaan haidh yang menjadikan bukan termasuk golongan orang-orang yang wajib berpuasa, sehingga dengan demikian (bila ia berpuasa maka) puasanya itu tidak sah, jika puasanya tidak sah maka tidak ada faedah baginya melakukan puasa pada hari itu, juga dikarenakan pada hari ini ia diperintahkan untuk tidak berpuasa pada permulaan hari itu, bahkan haram baginya berpuasa pada hari itu, sebab puasa yang disyari'atkan sebagaimana kita ketahui adalah : Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sebagai suatu ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, menurut pendapat kami inilah pendapat yang lebih kuat dari pendapat yang mewajibkan wanita itu untuk berpuasa. Kedua pendapat itu mengahruskan qadha puasa hari tersebut. [52 Su'alan an Ahkamli Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 9-10].
HAID DATANG BEBERAPA SAAT SEBELUM MATAHARI TERBENAM
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Seorang wanita tengah berpuasa, beberapa saat sebelum adzan Maghrib ia mendapatkan haidh, apakah ia harus membatalkan puasanya .?.
Jawaban
Jika haidh datang beberapa saat sebelum Maghrib maka puasanya batal dan ia diwajibkan mengqadha puasa pada hari itu di hari lain, akan tetapi jika haidh itu datang setelah terbenamnya matahari maka puasanya sah dan tidak wajib baginya mengqadha puasa tersebut. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta, 10/155, Fatwa nomor 10343]
TIDAK BERPUASA SELAMA MASA HAIDH, DAN SETIAP KALI TIDAK BERPUASA IA MEMBERI MAKAN, APAKAH WAJIB QADHA BAGINYA.
Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Ibuku berumur enam puluh tahun, ia tidak mengqadha puasanya selama hari-hari haidh di bulan Ramadhan yang telah ia tinggalkan sejak ia bersuamikan ayahku, hal itu dikarenakan ayahku berkata kepada ibuku aga ber-kaffarah dengan memberi makan fakir miskin setiap hari sebegai pengganti qadha puasa, karena ia adalah seorang ibu yang telah memiliki beberapa orang anak, hal iti dilakukan selama dua puluh tahun, dengan tujuh hari masa haidh di setiap bulan Ramadhan, apa yang wajib ia lakukan .? Apakah ia harus berpuasa selama hari-hari yang telah ditinggalkan itu atau ia harus bersedakah ? Dan berapakah ukuran sedekahnya itu .?.
Jawaban
Yang wajib dilakukan oleh ibu Anda adalah mengqadha hari-hari puasa yang telah ia tinggalkan degan tidak berpuasa di bulan Ramadhan selama masa haidh, sekalipuin itu terjadi berulang-ulang selama beberapa kali bulan Ramadhan. Hendaklah ia menghitung hari-hari tersebut dan mengqadha puasa sejumlah hari-hari itu, bersamaan dengan mengqada puasa itu diwajibkan memberi makan seorang miskin setiap hari selama hari-hari puasa yang diqadha, sebesar atau setengah sha' setiap harinya sebagai kaffarah (penebus) penundaan qadha puasa dari waktu yang seharusnya, dan boleh baginya mengqadha puasa itu secara berurutan atau tidak berurutan sesuai dengan kondisinya.
Yang penting, bahwa tidak boleh baginya meninggalkan qadha puasa itu, dan ayah Anda telah melakukan kesalahan besar dengan mengeluarkan fatwa tanpa didasari ilmu. [Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 2/138-139].
MERASA ADA DARAH TAPI BELUM KELUAR SEBELUM MATAHARI TERBENAM
Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Jika seorang wanita merasakan adanya darah dan darah itu belum keluar sebelum terbenamnya matahari, atau ia merasakan sakit yang biasanya ia alami pada masa haidh, apakah puasanya itu sah ataukah ia harus mengqadha puasanya pada hari itu .?.
Jawaban
Jika seorang wanita suci merasakan akan datang masa haidhnya saat ia puasa, akan tetapi darah itu tidak keluar kecuali setelah terbenamnya matahari, atau ia merasakan sakit haidh akan tetapi darah haidh itu belum keluar kecuali setelah terbenamnya matahari, maka puasanya pada hari itu adalah sah dan tidak ada ketetapan mengqadha puasa pada hari itu jika ia sedang melaksanakan puasa wajib, dan jika ia sedang melaksanakan puasa sunnat maka kondisi itu tidak menghilangkan pahala puasanya. [52 Su'alan an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 11-12].
ISTRI SAYA HAMIL DAN MENGELUARKAN DARAH PADA PERMULAAN RAMADHAN
Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Istri saya sedang hamil dua bulan, tapi ada tetesan darah yang keluar darinya pada permulaan bulan Ramadhan, tepatnya setelah Isya, beberapa hari setelah itu ia mengeluarkan tetesan lain sebelum terbenamnya matahari, saat itu ia tetap meneruskan puasanya, mohon keterangan Anda tentang hal ini .?.
Jawaban
Jika wanita itu hamil dan mengeluarkan darah secara tidak teratur, yaitu tidak seperti sebelum hamil, maka darah ini bukan masalah, baik setetes atau dua tetes ataupun banyak, karena darah yang keluar dari wanita hamil itu dianggap darah rusak (darah penyakit), lain halnya jika keluarnya darah tersebut secara teratur sebagaimana keluarnya darah sebelum hammil, maka darah tersebut dianggap darah haidh. Adapun jika darah tersebut berhenti kemudian keluar lagi seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, maka bagi wanita itu tetap diwajibkan puasa dan shalat, puasanya sah dan begitu pula dengan shalatnya. [Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/63].
WANITA HAIDH DAN NIFAS, BOLEHKAH MAKAN DAN MINUM DI SIANG HARI PADA BULAN RAMADHAN
Pertanyaan
Bolehkah wanita haidh dan wanita nifas makan dan minum di siang hari pada bulan Ramadhan .?.
Jawaban
Ya, boleh bagi keduanya untuk makan dan minum di siang hari bulan Ramafhan, akan tetapi yang lebih utama adalah dilakukan secara sembunyi-sembunyi, apalagi jika wanita itu mempunyai anak di rumah, karena jika si anak melihat ibunya makan dan minum di siang hari bulan Ramadhan maka hal itu dapat menimbulkan masalah dalam diri mereka. [52 Su'alan an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 13]
MENDAPAT KESUCIAN DARI HAID ATAU NIFAS SEBELUM FAJAR DAN TIDAK MANDI KECUALI SETELAH FAJAR
Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Jika seorang wnita mendapat kesuciannya dari haidh atau dari nifas sebelum fajar dan tidak mandi kecuali setelah fajar, apakah puasanya sah atau tidak.?.
Jawaban
Ya. sah puasanya wanita itu yang mendapat kesuciannya dari haidh sebelum fajar dan belum mandi kecuali setelah terbitnya fajar, begitu pula wanita yang mendapat kecuiannya dari nifas, karena pada saat itu ia telah termasuk pada golongan orang yang wajib puasa, dan dia sama halnya dengan orang yang junub di waktu fajar, orang yang junub di waktu fajar puasanya sah berdasarkan firman Allah.
"Artinya : Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu. dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar" [Al-Baqarah : 187]
Maka jika Allah mengizinkan bersetubuh hingga tiba waktu fajar maka dibolehkan mandi junub setelah terbitnya fajar. Juga berdasarkan hadits Aisyah Radhiallahu 'anha : "Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di waktu shubuh dalam keadaan junub karena mencampuri istrinya dan beliau tetap berpuasa", maksudnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mandi junub kecuali setelah waktu shubuh. [ibid. halaman 11].
HUKUM PUASANYA WANITA HAID DAN WANITA NIFAS
Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Apa hukum puasa yang dilakukan oleh wanita yang sedang haidh dan yang sedang nifas .?.
Jawaban
Diharamkan puasa bagi wanita haidh dan nifas, dan wajib bagi wanita itu untuk mengqadha hari-hari puasa itu pada hari-hari lain berdasarkan hadits dalam ASh-Shahihain, dari Aisyah Radhiallahu 'anha, bahwa ia berkata : "Kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat", ia mengucapkan hal itu karena ditanya oleh seorang wanita : "Kenapa wanita haidh harus mengqadha puasa tapi tidak mengqadha sahalat ?" Kemudian Aisyah Radhiallahu 'anha menerangkan bahwa hal ini adalah petunjuk yang harus diikuti berdasarkan nash. [At-Tanbihat, Syaikh Al-Fauzan, halaman 37].
APAKAH WANITA HAIDH BOLEH BERBUKA DI BULAM RAMADHAN DAN BERPUASA PADA HARI DI LUAR BULAN RAMADHAN
Pertanyaan
Apakah wanita haidh dibolehkan berbuka di bulan Ramadhan dan berpuasa menggantikan hari-hari tersebut di luar bulan Ramadhan .?.
Jawaban
Tidak sah puasanya seorang wanita yang sedang haidh, dan tidak boleh wanita haidh melaksanakan puasa. Jika seorang wanita mendapat haidh maka tidak boleh baginya berpuasa, dan hendaknya ia mengqadha puasa itu pada hari-hari lain saat ia dalam keadaan suci. [Fatawa Ash-Shiyam, halaman 62]
WANITA MENYUSUI MENGELUARKAN SEDIKIT DARAH, KEMUDIAN DARAH ITU BERHENTI SELAMA DUA HARI, MAKA IA PUN BERPUASA, KEMUDIAN DARAH ITU KELUAR LAGI
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Seorang wanita di masa menyusui, dan ia tidak mengalami haidh selama tiga bulan pertama setelah melahirkan, kemudian ia mengeluarkan cairan sejenis darah yang amat sedikit di tengah malam lalu darah itu berhenti pada siang harinya, maka ia pun berpuasa selama dua hari. Kemudian darah itu keluar lagi, lalu ia mendapat haidh seperti biasanya. Apakah puasanya yang dua hari itu sah.?
Jawaban
Jika kondisinya sebagaimana yang Anda katakan, yaitu bahwa darah keluar darinya di tengah malam saja, maka puasanya yang dua hari itu adalah sah, dan tidak ada pengaruh dari darah yang keluar pada malam hari itu terhadap puasanya pada dua hari tersebut. begitu juga datangnya haidh yang biasa tidak membatalkan puada pada kedua hari tersebut. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta; 5].
SEORANG WANITA MENDAPAT KESUCIANNYA DARI NIFAS DALAM SATU PEKAN, KEMUDIAN IA BERPUASA BERSAMA KAUM MUSLIMIN, SETELAH ITU DARAH TERSEBUT DATANG LAGI.
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Jika seorang wanita mendapat kesuciannya dari nifas dalam satu pekan, kemudian ia berpuasa bersama kaum muslimin di bulan Ramadhan selama beberapa hari, kemudian darah itu keluar lagi. apakah ia harus meninggalkan puasa dalam situasi seperti ini ? Dan apakah ia harus mengqadha hari-hari puasa yang ia jalani selama beberapa hari itu dan hari-hari puasa yang ia tinggalkan .?.
Jawaban
Jika seorang wanita mendapat kesuciannya dari nifas sebelum empat puluh hari lalu ia puasa beberapa hari, kemudian darah itu keluar lagi sebelum empat puluh hari, maka puasanya itu sah dan hendaknya ia meninggalkan shalat dan puasa pada hari-hari ketika darah itu keluar lagi, karena darah itu dianggap darah nifas hingga ia suci atau hingga sempurna empat puluh hari. Dan jika telah mencapai empat puluh hari maka wajib baginya untuk mandi walaupun darah itu masih tetap keluar, karena empat puluh hari adalah akhir masa nifas menurut pendapat yang paling benar diantara dua pendapat ulama. dan setelah itu hendaknya ia berwudhu untuk setiap waktu shalat hingga darah itu berhenti mengalir darinya, sebagaimana yang diperintahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada wanita yang mustahadhah, dan boleh bagi suaminya untuk mencampurinya setelah empat puluh hari walaupun ia masih mengeluarkan darah, karena darah dan kondisi yang seperti demikian adalah darah rusak (darah istihadhah) yang tidak menghalangi seorang wanita untuk shalat dan puasa dan juga tidak menghalangi suaminya untuk menggauli istrinya pada saat itu. Akan tetapi jika keluarnya darah itu sesuai dengan masa haidhnya, maka ia harus meninggalkan shalat dan puasa karena ia dianggap haidh. [Kitab Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/73].
MENDAPAT KESUCIAN SETELAH TUJUH HARI MELAHIRKAN LALU BERPUASA DI BULAN RAMADHAN
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta ditanya : Istri saya melahirkan seorang bayi beberapa hari sebelum Ramadhan, tepatnya tujuh hari sebelum Ramadhan, dan sebelum masuk Ramadhan ia telah mendapat kesuciannya dari nifas, puasa yang dilakukan itu sah ? Ataukah ia harus mengqadha puasanya itu ? Perlu diketahui bahwa menurutnya, ia menjalankan puasa itu karena ia telah suci.
Jawaban
Jika keadaannya seperti apa yang Anda sebutkan dalam pertanyaan, yaitu bahwa istri Anda berpuasa dalam keadaan suci di bulan Ramadhan, maka puasa istri Anda itu sah dan tidak wajib baginya untuk mengqadha puasanya itu. [Fatawa Al-lajnah Ad-Da'imah Lil IIfta ; 10/155-156, fatwa nomor 10138].
SETELAH EMPAT PULUH HARI SEJAK MELAHIRKAN, DARAH YANG KELUAR BERUBAH, APAKAH SAYA HARUS SHALAT DAN PUASA
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya seorang wanita bersuami dan alhamdulillah Allah telah mengaruniakan dua orang anak. Setelah habis empat puluh hari dari masa melahirkan tepatnya hari ke tujuh dari bulan Ramadhan, saya masih tetap mengeluarkan darah, akan tetapi darah yang keluar itu telah berubah dan tidak seperti darah yang keluar sebelum empat puluh hari, apakah saya harus puasa dan shalat ? Sebab saya melaksanakan puasa setelah melewati empat puluh hari itu dan saya selalu mandi setiap kali akan shalat, apakah puasa saya itu sah atau tidak ?.
Jawaban
Seorang wanita nifas jika ia tetap mengeluarkan darah setelah melewati empat puluh hari dan darah itu tidak berubah, maka jika masa yang lebih dari empat puluh hari itu sesuai dengan masa haidh yang biasanya, maka ia harus meninggalkan shalat, dan jika masa yang lebih dari empat puluh hari itu tidak sesuai dengan mas haidh yang biasanya, maka para ulama berbeda pendapat, di antara ulama ada yang berpendapat : Hendaknya wanita itu mandi, sahalat dan puasa, walaupun darah tetap mengalir sebab darah itu adalah darah istihadhah. Sebagian ulama lainnya berpendapat : Bahwa ia tetap meninggalkan shalat hingga hari keenam puluh, karena ada sebagian wanita yang tetap dalam keadaan nifas hingga hari keenam puluh, dan ini adalah kejadian nyata yang tidak bisa dipungkiri, sehingga dikatakan bahwa sebagian wanita mempunyai kebiasaan nifas selama enam puluh hari, maka berdasarkan ini, sebaiknya wanita itu tetap meninggalkan shalat hingga hari keenam puluh, kemudian setelah itu ia kembali kepada masa haidh seperti biasanya. [Durus wa fatawa Al-haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/65]. .
________________________________________
Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Ifta Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, hal.221 - 228, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar