Yang     Membatalkan Dan Yang Tidak Membatalkan Puasa
 
 
APAKAH KELUAR DARAH DARI YANG HAMIL     TERMASUK YANG MEMBATALKAN SHAUM
 
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Pada bulan Ramadhan yang mulia saya sedang keadaan hamil     dan saya mengeluarkan darah pada tanggal dua puluhnya, walaupun demikian     saya tetap berpuasa kecuali selama empat hari ketika saya di rumah sakit.     Setelah Ramadhan saya mengqadha puasa saya yang empat hari itu, apakah saya     harus berpuasa lagi sedangkan saya masih mengandung .?
 
Jawaban
Puasa Anda saat hamil yang disertai     dengan keluarnya darah adalah sah, darah itu tidak mempengaruhi puasa Anda     sebab darah itu adalah istihadhah, sedangkan puasa yang Anda tinggalkan     selama empat hari itu  karena dirawat di rumah sakit lalu Anda     mengqadhanya setelah Ramadhan sudah cukup, Anda tidak perlu mengqadha puasa     itu untuk kedua kalinya. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta, 10/225,     fatwa nomor 13168]
 
 
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Jika seorang pria mencium istrinya di bulan     Ramadhan atau mencumbuinya, apakah hal itu akan membatalkan puasanya atau     tidak .?
 
Jawaban
Suami yang mencium istrinya dan     mencumbuinya tanpa menyetubuhinya dalam keadaan berpuasa, adalah dibolehkan     dan tidak berdosa, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mencium     istrinya dalam keadaan berpuasa, dan pernah juga beliau mencumbui istrinya     dalam keadaan berpuasa. Akan tetapi jika dikhawatirkan dapat terjadi     perbuatan yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala karena perbuatan itu     dapat membangkitkan syahwat dengan cepat, maka hal demikian menjadi makruh     hukumnya. Jika mencium dan mencumbui menyebabkan keluarnya mani, maka ia     harus terus berpuasa dan harus mengqadha puasanya itu tapi tidak wajib     kaffarah baginya menurut sebagian besar pendapat ulama, sedangkan jika     mengakibatkan keluarnya madzi maka hal itu tidak membatalkan puasanya     menurut pendapat yang paling benar diantara dua pendapat ulama, karena pada     dasarnya hal tersebut tidak membatalkan puasa dan memang hal tersebut sulit     untuk dihindari. [Fatawa Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/164]
 
MENCAMPURI ISTRI DI SIANG HARI     RAMADHAN
 
Pertanyaan
Syaikh Muhamad Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya seorang pemuda, saya pernah mencampuri istri     saya di siang hari Ramadhan, apakah saya harus membeli kurma untuk saya     sedekahkan .?
 
Jawaban
Jika ia seorang pemuda maka berarti     ia sanggup untuk berpuasa selama dua bulan berturut-turut, kita memohon     kepada Allah agar pemuda itu diberi kekuatan untuk melaksanakan puasa     selama dua bulan itu. Jika seorang telah bertekad keras untuk melaksanakan     suatu pekerjaan maka hal itu akan mudah dikerjakannya, dan sebaliknya jika     dirinya telah diliputi rasa malas maka perbuatan itu akan terasa berat     sehingga hal tersebut akan mempersulit dirinya dalam melaksanakannya.     Kita  harus mengucapkan puji dan syukur kepada Allah, karena Allah     Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan sesuatu yang harus kita kerjakan di     dunia yang dapat menghindarkan diri kita dari siksa Akhirat. Maka kepada     pemuda ini kami katakan : Hendaklah Anda berpuasa selama dua bulan penuh     berturut-turut, jika cuaca panas dan siang hari panjang, maka Anda     mempunyai kesempatan menundanya hingga musim dingin. Hal yang sama diberlakukan     pula pada pihak wanita yaitu istri Anda jika ia turut serta secara rela,     namun jika si istri melakukan ha itu dengan terpaksa dan tak ada kesempatan     untuk menghindar, maka puasa wanita itu sah sehingga tidak perlu     mengqadhanya dan tidak perlu melaksanakan kaffarah. [Durus wa Fatawa     Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/60]
 
MENGAULI ISTRI PADA SIANG HARI     RAMADHAN
 
Pertanyaan
Syaih Shalih Al-Fauzan ditanya : Seorang pria menggauli istrinya pada siang hari     Ramadhan selama tiga hari berturut-turut, apa yang harus ia lakukan ..?
 
Jawaban
Jika seorang yang berpuasa     bersetubuh saat berpuasa, maka ia telah melakukan dosa besar, wajib baginya     untuk bertobat kepada Allah dari dosa yang ia lakukan itu dan mengqadha puasanya     itu. Disamping itu wajib baginya untuk melaksanakan kaffarah     (memenuhi tebusan) yaitu memerdekakan hamba sahaya, jika tidak bisa maka ia     harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut, jika tidak sanggup maka ia     harus memberi makan kepada enam puluh orang miskin, setiap orang miskin     mendapatkan setengah sha' makanan pokok. Kaffarah itu dilakukan sesuai     dengan jumlah hari yang ia gunakan untuk bersetubuh yaitu setiap satu hari     satu Kaffarah tersendiri. Wallahu a'lam [Kitab Al-Muntaqa min Fatawa     ASy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 1/116]
 
MENCAMPURI ISTRI TANPA MENGELUARKAN     MANI
 
Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Seorang pria menyetubuhi istrinya pada siang hari     Ramadhan tanpa mengeluarkan mani, bagaimana hukumnya ..? Dan bagaimana pula     hukumnya jika istri tidak mengerti hal itu .?
 
Jawaban
Bersetubuh di siang hari Ramadhan     saat suami berpuasa dan tidak dalam perjalanan maka dia dikenakan Kaffarah,     yaitu memerdekakan hamba sahaya, jika hal itu tidak didapatkan dipenuhi maka     ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut, jika hal itu tidak     sanggup dilakukan maka ia harus memberi makan kepada enam puluh orang     miskin. Kaffarah yang sama juga dikenakan bagi istrinya, jika ia melakukan     hal itu dengan rela, namun jika dilakukan dengan terpaksa maka wanita itu     tidak dikenakan apapun. Adapun bila keduanya itu dalam keadaan musafir maka     tak ada dosa, tak ada kaffarah dan tidak perlu berpuasa pada sisa hari itu     melainkan keduanya harus mengqadha puasa hari itu saja, karena orang     musafir tidak diwajibkan untuk berpuasa. begitu pula bagi orang yang tidak     melakukan puasa karena keadaan darurat, seperti menolong orang dari     kebinasaan, jika ia bersetubuh pada saat tidak berpuasa karena sebelumnya     ia tidak berpuasa karena menolong seseorang, maka hal itu tidak mengapa,     karena saat itu adalah saat yang tidak merusak puasa wajib karena sedang     tidak berpuasa. Tapi bila seseorang tengah berpuasa dan muqim (bukan     musafir) jika bersetubuh maka ia dikenakan lima hal yaitu :
- Berdosa
- Puasanya          rusak
- Wajib          meneruskan puasa hari itu
- Wajib          mengqadha puasa hari itu
- Wajib          melaksanakan kaffarah
 
Dalil kaffarah adalah hadits Abu     Haurairah Radhiallahu 'anhu tentang seorang pria yang menyetubuhi istrinya     pada siang hari Ramadhan, yaitu jika orang ini tidak mampu memerdekakan     budak, tidak mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut dan tidak mampu     memberi makan enam puluh orang miskin, maka kewajiban kaffarah itu hilang     karena Allah tidak akan memberi beban kepada seseorang kecuali sesuai     kemampuannya, sebab tidak ada kewajiban kepada seseorang kecuali sesuai     kemampuannya, sebab tidak ada kewajiban jika disertai ketidakmampuan. Dalam     hal ini tidak ada bedanya antara bersetubuh yang menyebabkan keluarnya mani     ataupun tidak mengeluarkan mani jika persetubuhan itu telah dilakukan. Lain     halnya jika keluarnya mani itu tanpa bersetubuh, maka dalam hal ini tidak     ada kaffarah, melainkan berdosa dan diwajibkan melanjutkan puasa serta     mengqadha puasanya juga. [Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu     Utsaimin, 3/46-47]
 
MENCIUM ISTRI DAN MENCUMBUINYA     KETIKA BERPUASA
 
Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Bolehkah orang yang sedang puasa memeluk istrinya     dan mencumbuinya di atas ranjang pada bulan Ramadhan .?
 
Jawaban
Ya, boleh bagi orang yang sedang     berpuasa untuk mencium dan mencumbui istrinya dalam keadaan berpuasa, baik     di bulan Ramadhan maupun bukan di bulan Ramadhan. Akan tetapi jika hal itu     menyebabkannya mengeluarkan mani, maka puasanya batal, walaupun demikian     wajib baginya untuk meneruskan puasanya serta diwajibkan pula baginya     mengqadha puasa hari itu. Jika hal itu terjadi bukan pada bulan Ramadhan     maka puasanya batal dan tidak perlu meneruskan puasanya pada sisa hari itu,     akan tetapi jika puasanya adalah puasa wajib maka wajib baginya untuk mengqadha     puasa itu, namun jika puasa itu sunnat maka tidak masalah baginya. [ibid,     3/64-65]
 
HUKUM MENGGUNAKAN CELAK MATA DAN     PERLENGKAPAN KECANTIKAN LAINNYA DI SIANG HARI RAMADHAN
 
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Apa hukumnya menggunakan celak mata dan     perlengkapan kecantikan lainnya bagi kaum wanita pada siang hari bulan     Ramadhan, apakah hal ini dapat membatalkan puasanya atau tidak .?
 
Jawaban
Celak mata tidak membatalkan puasa     kaum pria maupun wanita menurut pendapat yang paling benar di antara dua     pendapat ulama, akan tetapi memakainya pada malam hari lebih utama bagi     orang yang sedang berpuasa. Begitu juga menggunakan perlengkapan kecantikan     wajah lainnya yang berhubungan dengan wajah, seperti sabun, cream dan     sejenis lainnya yang berhubungan dengan kulit, termasuk inai, make up dan     sebagainya, hanya saja make up sebaiknya tidak digunakan jika dapat merusak     wajah. [Kitab Fatawa Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/170]
 
MENGGUNAKAN ALAT-ALAT KECANTIKAN     MODERN SAAT BERPUASA
 
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih     Al-Utsaimin ditanya : Saya menggunakan     alat-alat kecantikan modern saat berpuasa, apakah saya dikenakan sesuatu     karena menggunakannya .?
 
Jawaban
Tidak ada apa pun yang dikenakan pada     seorang wanita yang berpuasa jika menggunakan cream pada wajahnya, baik     untuk mempercantik dirinya ataupun bukan, yang penting semua kosmetik ini     dengan segala macam rupanya yang digunakan di wajahnya atau di punggungnya     atau di bagian badan lainnya tidak ada pengaruhnya terhadap orang yang     sedang berpuasa dan tidak membatalkannya. [Fatawa wa Durus Al-Haram     Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/65]
 
MENGGUNAKAN INAI PADA RAMBUT SAAT     BERPUASA
 
Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Apakah boleh menggunakan inai pada saat berpuasa     dan saat shalat, karena saya telah mendengar pendapat yang menyatakan bahwa     inai dapat membatalkan puasa .?
 
Jawaban
Pendapat itu tidak benar, karena     sesungguhnya menggunakan inai saat puasa tidak membatalkan puasa dan tidak     berdampak apa pun bagi orang yang berpuasa, sama halnya dengan menggunakan     celak mata, dan sama halnya juga dengan menggunakan obat tetes mata atau     obat tetes untuk telinga, karena semua itu tidak dapat membahayakan puasa     seseorang dan tidak membatalkan puasa. Adapun menggunakan inai saat shalat,     saya tidak paham bagaimana maksud dari pertanyaan ini, sebab wanita yang     sedang shalat tidak bisa memakaikan inai, mungkin yang dimaksud penanya     adalah : Apakah inai dapat mengahalangi sahnya wudhu seorang wanita jika ia     menggunakannya..?
 
Jawabannya adalah : Bahwa     menggunakan inai tidak membatalkan wudhu, karena inai tidak memiliki dzat     yang dapat mencegah mengalirnya air pada kulit. sebab inai hanyalah warna     saja, adapun yang dapat membatalkan wudhu adalah sesuatu yang memiliki dzat     yang mana dzat itu dapat menghalangi mengalirnya air pada kulit, maka dzat     tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu hingga wudhu menjadi sah. [Fatawa     Nur'ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 46]
 
APAKAH KOSMETIK PELEMBAB DAPAT MEMBATALKAN     PUASA
 
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah kosmetik pelembab kulit dapat membatalkan     puasa jika termasuk jenis yang tidak menghalangi mengalirnya air pada kulit     ..?
 
Jawaban
Tidak mengapa menggunakan kosmetik     pelembab pada tubuh saat berpuasa jika hal itu dibutuhkan, karena pelembab     itu hanya membasahkan permukaan kulit dan tidak masuk hingga ke dalam     tubuh, kemudian jika pelembab itu diperkirakan dapat masuk ke pori-pori     kulit maka hal itu pun tidak termasuk yang membatalkan puasa. [Fatawa     Ash-Shiyam, halaman 41]
 
MENGOBATI PILEK DENGAN OBAT YANG     DIHIRUP MELALUI HIDUNG
 
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Ada sejenis obat untuk penyakit pilek yang cara pennggunaannya     dengan menghirupnya melalui hidung, apakah menggunakan obat ini dapat     membatalkan puasa atau tidak .?
 
Jawaban
Obat pengakit pilek yang digunakan     oleh penderita penyakit itu dengan cara menghirupnya melalui hidung lalu     masuk ke dalam paru-paru melalui rongga tempat berlalunya pernafasan dan     tidak menuju ke tempat perut besar, maka hal ini tidak dinamakan memakan     atau meminum atau yang serupa dengan keduanya. Cara pengobatan seperti itu     sama halnya dengan meneteskan obat melalui suntikan untuk menuju pada badan     tanpa menggunakan mulut atau hidung. Mengenai masalah ini para ulama     berbeda pendapat, apakah pengobatan dengan cara itu dapat membatalkan puasa     atau tidak, sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak     membatalkan puasa, walaupun demikian mereka semua bermufakat bahwa hal     tersebut tidak dinamakan makan ataupun minum, akan tetapi mereka yang     berpendapat bahwa hal itu dapat membatalkan puasa karena benda yang     dimasukkan itu masuk ke dalam tubuh, berdasarkan sabda Rasulullah     Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Dan mantapkanlah     dalam istinsyaq [1] kecuali jika kami sedang berpuasa"
 
Perintah memantapkan ber-istinsyaq     ini dikecualikan bagi orang yang sedang berpuasa, karena dikhawatirkan     air yang dihirup itu akan masuk ke dalam kerongkongan lalu ke perut besar,     sebab hal itu dapat membatalkan puasa. Maka hadits ini menunjukkan bahwa     segala sesuatu yang masuk ke dalam tenggorokan yang bukan kerena     keterpaksaan, dapat mebatalkan puasa. Adapun golongan ulama yang berpendapat     bahwa hal tersebut tidak membatalkan puasa, di antara mereka adalah     Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dan yang sependapat denganya,     menyatakan bahwa tidak benar mengkiaskan hal ini dengan makan dan minum,     karena dalil-dalil yanga ada tidak menunjukkan bahwa yang membatalkan puasa     adalah masuknya sesuatu yang sampai ke dalam otak atau ke dalam tubuh, dan     juga bukan yang masuk melalui suatu jalan yang sampai ke tenggorokan.     Karena tidak ada dalil syar'i yang menjadikan  salah satu proses itu (istinsyaq     atau berkumur) sebagai penyebab berlakunya hukum, yakni membatalkan puasa.     Jadi proses tersebut (istinsyaq atau berkumur) tidak dapat     dikategorikan dengan sampainya benda ke dalam  tenggorokan atau perut     sehingga membatalkan puasa, baik itu sampainya melalui hidung maupun     melalui  mulut, sebab keduanya hanyalah jalan. Karena itu, puasa     seseorang tidak batal hanya karena berkumur atau istinsyaq yang     tidak dalam, bahkan hal ini tidak dilarang. Mulut itu sendiri, hanya     sebagai jalan masuk saja, tapi jalan ini tidak pasif, artinya tidak semua     yang masuk ke mulut mesti masuk ke tenggorokan, sebab mulut bisa     memuntahkan lagi. Jika masuknya sesuatu melalui hidung sama dengan     yang melalui mulut, kemudian adakalanya hidung sama dengan yang melalui     mulut, kemudian adakalanya hidung  digunakan untuk memasukkan sesuatu,     maka mulut dan hidung mempunyai fungsi yang sama, yakni bisa     sebagai jalan masuk, bisa menahan dan bisa mengeluarkan kembali.     Tampaknya pendapat yang benar adalah pendapat yang menyatakan tidak membatalkan     puasa bila menggunakan obat yang dihirup, karena cara tersebut tidak sama     dengan makan dan minum.[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, 3/365]
 
Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Ifta Lil Mar'atil Muslimah,     edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya     Al-Wazan, terbitan Darul Haq, hal.238 - 245, penerjemah Amir Hamzah     Fakhruddin
Foot Note
 
 
 
 
 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar