Kamis, 21 Januari 2010

Adab Bercanda





Kelakar
Di dalam Kamus Besar Bahasa  Indonesia (KBBI) halaman 465 disebutkan, bahwa kelakar adalah perkataan yang bersifat lucu untuk membuat orang gembira. Sinonimnya adalah senda gurau, seloroh dan bercanda. Di dalam Bahasa Arab, kata tersebut dikenal dengan istilah mizah atau muzah.
Kelakar dapat menghibur, mencairkan suasana, menghilangkan ketegangan, menenangkan keresahan dan meredakan amarah. Bahkan, tak jarang di dalam kelakar akan tercermin rasa persaudaraan dan persahabatan.
Membuat orang lain senang dapat disebut sebagai kebajikan dan Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam memasukkan senyum yang dengannya orang menjadi senang sebagai kebajikan. Beliau bersabda,
“Senyummu untuk saudaramu adalah shadaqah, kebajikan.” (HR Imam Ahmad).
Segala hal yang membuat orang lain senang dan bahagia masuk ke dalam makna senyum ini atau dapat disejajarkan dengannya. Abdullah bin Harits menyifati Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam sebagai orang yang paling sering tersenyum (murah senyum).
Nabi mengajarkan untuk berlemah lembut di dalam kehidupan dan kelemah lembutan ini merupakan rahmat dari Allah, sebagaimana firman-Nya,
Artinya “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap  mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. 3:159)
Allah Menyifati diriNya dengan sifat rifq yakni lemah lembut dan dalam sebuah hadits, Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda,
Artinya “Allah itu Maha Lembut dan Dia suka dengan kelembutan, Allah akan memberikan balasan dari kelembutan yang tidak diberikan atas sikap kasar, keras dan selainnya.” (HR. Al Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Nabi, Shahabat dan Canda
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam jika bertemu dengan Abu Umair, adik Anas bin Malik-ketika ia masih kanak-kanak-sering mencan-dainya tentang anak burung yang ia pelihara.
“Abu Umair, apa yang dilakukan anak burungmu?” Demikian beliau mencan-dai.
Abu Dawud meriwayatkan, sese-orang mendatangi Nabi n dan berkata, “Ya Rasulullah, bawalah saya,” pintanya, “Kami akan membawamu di atas anak unta,” Jawab Nabi, “Apa yang dapat aku lakukan dengan anak unta?”, tanyanya kebingungan. Maka Nabi berkata, “Bukankah unta dewasa itu adalah anak unta juga.” (HR. At Tirmidzi).
Terkadang Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam nimbrung berkelakar dengan para shahabatnya seusai shalat Shubuh setelah matahari terbit. Simak bin Harb bertanya kepada Jabir bin Samurah, “Apakah ia sering menyertai Nabi.”  Jabir mengiyakan dan ia bercerita bahwa Nabi tidak beranjak dari tempat shalat Shubuhnya, kecuali jika matahari telah terbit. Terkadang para Shahabat duduk-duduk menceritakan tentang kisah-kisah di masa Jahiliyah, mereka tertawa, sedangkan Nabi hanya tersenyum. (HR. An-Nasai).
Di dalam riwayat lain, oleh Imam An-Nasai dan Ahmad disebutkan, “Terkadang mereka melantunkan syair.”
Adalah Nu’aiman bin Amr bin Rifa’ah termasuk shahabat besar pertama, ikut perang Badar, sangat dikenal dengan candanya. Ibnu Abdil Barr menyifati candanya terkadang kelewatan, du’abah zaidah. (Al Isti’ab  4/1526).
Rasulullah hidup bersama dengan para shahabatnya yang memiliki karakter berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Di antara mereka ada yang bersifat hazm, serius, tegas dan amat berwibawa semisal Umar bin Khaththab z. Sebaliknya ada pula yang dikenal suka berkelakar seperti Nu’aiman dan Nabi pun tidak mengingkarinya.
Tertawa yang dibuat-buat, terbahak-bahak atau tertawa tidak pada tempatnya adalah dibenci agama. Ibnu Umar pernah ditanya tentang shahabat Nabi apakah mereka juga tertawa, maka dia menjawab, ”Ya! Dan keimanan mereka seumpama gunung.”
Sufyan bin Uyainah ditanya apakah canda itu termasuk perbuatan tercela? Ia menjawab tidak, “Bahkan termasuk sunnah bagi yang dapat mengondisi-kan canda sesuai dengan aturannya.

BEBERAPA KETENTUAN DI DALAM BERCANDA

Bercanda dibolehkan selama sesuai dengan syari’at. Hal-hal di bawah ini perlu diperhatikan, agar bercanda tidak berbalik menjadi dosa, sebagai berikut:
  1. Tidak Menjadikan Aspek Agama Sebagai Materi Canda.
    Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
    Artinya “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, ”Sesungguhnya kami hanya bersendau gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. 9:65-66)
    Termasuk di dalamnya menjadikan sunnah Nabi, seperti: Memelihara jenggot, Mengangkat pakaian di atas mata kaki bagi kaum pria, sebagai bahan gurauan. Jika ajaran agama dijadikan gurauan sekecil apa pun, dapat menyebabkan kekufuran.
    Ibnu Abbas pernah berkata, ”Barang siapa melakukan dosa lalu ia tertawa (merasa senang), maka ia akan masuk neraka di dalam keadaan menangis.”
     

  2. Bukan Cacian dan Cemoohan.
    Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan)dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. 49:11)

    Selain dengan lidah, cacian dapat dilakukan dengan gerakan isyarat atau mata. Nabi melarang mencaci,
    Artinya “Jangan engkau bergembira dengan (cela) saudaramu, bisa saja itu akan menjadi sebab Allah untuk mengasihinya, dan mencobamu (dengan semisalnya).” (HR. At-Tirmidzi dengan mengatakan hasan)

    Kehormatan harga diri di dalam  Islam sama dengan kehormatan darah dan harta. Kesadaran orang untuk tidak mencuri harta atau mencelakai orang lain, belumlah cukup tanpa adanya kesadaran untuk menjaga kehormatan orang. Nabi bersabda, “Setiap muslim dengan muslim lain diharamkan darah, harta dan harga dirinya.” (HR. Muslim)
     

  3. Bukan Ghibah.
    Tidak jarang orang yang sering bercanda terjerumus ke dalam ghibah. Ia mengira mungkin ini hanya sekedar seloroh, padahal Nabi mendefinisikan ghibah dengan, “Menyebutkan sesuatu tentang saudaramu yang tidak disenanginya.” sebagaimana di dalam hadits riwayat Imam Muslim.
     

  4. Tidak Menjadikan Canda Sebagai Kebiasaan.
    Kesungguhan dan serius adalah karakter pribadi muslim, sedang kelakar hanya sekedar jeda, rehat dari kepenatan. Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa menjadikan humor sebagai profesi adalah sebuah kesalahan besar (ihya ulumiddin 3/129)
     

  5. Isi Canda Adalah Benar, Bukan Dusta dan Tidak Dibuat-Buat.
    Nabi bersabda, “Celakalah orang yang berbicara lalu mengarang cerita dusta agar orang lain tertawa, celakalah!” (HR. Abu Dawud)
     

  6. Mengondisikan Canda Dengan Tempat, Suasana dan Orang yang Dicandai.
    Bercanda dengan orang yang dihormati semisal ulama bisa dianggap kurang sopan. Bercanda dengan orang awam dan kebanyakan orang bisa mengurangi kewibawaan. Demikian pula, bercanda dengan orang yang belum dikenal bisa dipersepsikan sebagai penghinaan.

Imam An-Nawawi berpendapat bercanda yang dilarang adalah canda yang berlebihan dan dijadikan sebagai kebiasaan serta kelakar yang dapat menyebabkan banyak tertawa. Sedangkan banyak tertawa dapat memadamkan cahaya hati. Kadangkala bercanda (yang demikian), akan berakhir dengan cacian, cemoohan, menanamkan dendam dan memudarnya kewibawaan. Canda yang dilakukan Nabi adalah bercanda yang bersih dari sifat-sifat di atas (al Adzkar/468) wallahu a’lam (Ashri).

Sumber: Al Qur`anul Karim, Sunan Ibnu Majah, Al ishabah fi tamyiz ash shahabah, Majalah Al Bayan, No. 149.  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blog Template by YummyLolly.com / Header Butterfly by Pixels + Ice Cream