Oleh: Syaikh Muhammad Bin Shaleh Al
'Utsaimin
Makna Haid Dan Hikmahnya
1. Makna Haid
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu
yang mengalir. Dan menurut istilah syara' ialah darah yang terjadi pada wanita
secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid
adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau
kelahiran. Oleh karena ia darah normal, maka darah tersebut
berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya,
sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.
2. Hikmah Haid
Adapun hikmahnya, bahwa karena janin
yang ada di dalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan
oleh anak yang berada di luar kandungan, dan tidak mungkin bagi si ibu untuk
menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka Allah Ta'ala telah menjadikan pada
diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi
janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada
tubuh janin melalui tali pusar, di mana darah tersebut merasuk melalui urat dan
menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta. Inilah
hikmah haid. Karena itu, apabila seorang wanita sedang dalam keadaan hamil
tidak mendapatkan haid lagi, kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita yang
menyusui sedikit haid, terutama pada awal masa penyusuan.
Usia Dan Masa
Haid
Usia Haid
Usia haid biasanya antara 12
sampai dengan 50 tahun Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid
sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim
yang mempengaruhinya.
Para ulama, rahimahullah, berbeda
pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, di mana seorang
wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut?
Ad-Darimi, setelah menyebutkan perbedaan
pendapat dalam masalah ini, mengatakan: "Hal ini semua, menurut
saya, keliru. Sebab, yang menjadi
acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimana
pun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid.
Dan hanya Allah Yang Maha Tahu. (Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, Juz 1, hal 486)
Pendapat Ad-Darimi inilah yang benar dan
menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi, kapan pun seorang wanita
mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun
atau di atas 50 tahun. Sebab, Allah dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid
pada keberadaan darah tersebut, serta tidak memberikan batasan usia tertentu.
Maka, dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah
dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan padahal tidak ada satupun dalil
yang menunjukkan hal tersebut .
Masa Haid
Para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam
hal ini.
Ibnu Al-Mundzir mengatakan: "Ada
kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari
minimal atau maksimalnya''. Pendapat ini seperti pendapat Ad-Darimi di atas,
dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar
berdasarkan Al Qur'an, Sunnah dan logika.
Dalil pertama:
Firman Allah Ta 'ala.
"Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu suatu kotoran".
Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haid; dan
janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci" (Al-Baqarah :222).
Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah
sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari-semalam,
ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat
(alasan) hukumnya adalah haid, yakni ada atau tidaknya. Jadi, jika ada haid
berlakulah hukum itu dan jika telah suci(tidakhaid) tidakberlaku lagi
hukum-hukum haid tersebut.
Dalil kedua:
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa
Nabi bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan ihram
untuk umrah:
"Lakukanlah
apa yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di
ka'bah sebelum kamu suci". Kata
Aisyah: "Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci".
Dalam Shahih Al Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasalam
bersabda kepada Aisyah:
"Tunggulah.
Jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan'im"
Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi
sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu. Ini
menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.
Dalil ketiga:
Bahwa pembatasan dan rincian yang
disebutkan para fuqaha dalam masalah ini tidak terdapat dalam Al Qur'an maupun
Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasalam ; padahal ini perlu, bahkan amat
mendesak untuk dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian tersebut
termasuk yang wajib dipahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah
kepada Allah, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya
kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang
berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan dan hukum lainnya.
Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya
telah menjelaskan tentang shalat: jumlah bilangan rakaatnya, waktu-waktunya,
ruku' dan sujudnya; tentang zakat: jenis hartanya, nisabnya, persentasenya dan
siapa yang berhak menerimanya; tentang puasa: waktu dan masanya; tentang haji
dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etiket makan, minum, tidur,
jima' (hubungan suami-isteri), duduk, masuk dan keluar rumah, buang
hajat, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan
perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan kelengkapan
agama dan kesempumaan nikmat yang dikaruniakanAllah kepada kaum Mu'minin.
Oleh karena pembatasan dan rincian
tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi SAW maka nyatalah
bahwa hal itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya
dijadikan patokan adalah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan
hukum-hukum syara' menurut ada atau tidaknya.
Dalil ini - yakni suatu hukum tidak
dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah - berguna bagi Anda
dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya, karena
hukum-hukum syar'i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar'i dari
Kitab Allah, atau Sunnah Rasul-Nya atau ijma' yang diketahui, atau qiyas
yang shahih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam salah
satu kaidah yang dibahasnya, mengatakan: "Di antara sebutan yang dikaitkan
oleh Allah dengan berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah, yaitu sebutan haid.
Allah tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun masa suci
diantara dua haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang menimpa
mereka karenanya. Bahasa pun tidak membedakan antara satu batasan dengan
batasan lainnya. Maka barangsiapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini,
berarti ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah.
Dalil keempat:
Logika atau qiyas yang benar dan umum
sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan 'illat (alasan) haid sebagai kotoran.
Maka manakala haid itu ada, berarti kotoran pun ada. Tidak ada perbedaan antara
hari kedua dengan hari pertama, antara hari keempat dengan hari ketiga. Juga
tidak ada perbedaan antara hari keenam belas dengan hari kelima belas, atau
antara hari kedelapanbelas dengan hari ketujuh belas. Haid adalah haid dan
kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat 'illat yang sama.
Jika demikian. Bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum di antara kedua hari
itu, padahal keduanya sama dalam 'illat? Bukankah hal inibertentangandengan
qiyas yang benar? Bukankah menurut qiyas yang benar bahwa kedua hari
tersebut sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam 'illat?
Dalil kelima:
Adanya perbedaan dan silang pendapat
dikalangan ulama yang memberikan batasan, menunjukkanbahwa dalam masalah ini
tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun, semua itu merupakan
hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan bisa juga benar, tidak ada satu
pendapat yang lebih patut diikuti daripada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila
terjadi perselisihan pendapat adalah Al Qur'an dan Sunnah.
Jika ternyata pendapat yang menyatakan
tidak ada batas minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang kuat dan yang
rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah alami, bukan
disebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa
mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali apabila keluamya darah itu terus
menerus tanpa henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari
dalam sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah.
Dan akan dijelaskan, Insya Allah,
tentang istihadhah dan hukum-hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan: "Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah
haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah."
Kata beliau pula: "Maka darah yang
keluar adalah haid, bila tidak diketahui sebagai darah penyakit atau karena luka."
Pendapat ini sebagaimana merupakan
pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat yang paling dapat
dipahami dan dimengerti serta lebih mudah diamalkan dan diterapkan daripada
pendapat mereka yang memberikan batasan. Dengan demikian,pendapat inilah yang
lebih patut diterima karena sesuai dengan semangat dan kaidah agama Islam,
yaitu: mudah dan gampang.
Finman Allah Ta 'ala: "Dan Dia
(Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
" (Al Hajj : 78 )
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi
wasalam : "Sungguh agama (Islam) itu mudah. Dan tidakseorang pun
mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka
berlakulah lurus, sederhana (tidak melampaui batas) dan sebarkan kabar gembira.
" (Hadits riwayat Al Bukhari).
Dan di antara akhlak Nabi shallallahu
alaihi wasalam bahwajika beliau diminta memilih antara dua perkara, maka
dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan perbuatan dosa.
Haid Wanita Hamil
Pada umumnya, seorang wanita jika dalam
keadaan hamil akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam Ahmad,
rahimahullah, " Kaum wanita dapat
mengetahui adanya kehamilan dengan berhentinya haid".
Apabila wanita hamil mengeluarkan darah
sesaat sebelum kelahiran (dua atau tiga hari) dengan disertai rasa sakit, maka
darah tersebut adalah darah nifas. Tetapi jika terjadi jauh hari sebelum
kelahiran atau mendekati kelahiran tanpa disertai rasa sakit, maka darah itu
bukan darah nifas. Jika bukan, apakah itu termasuk darah haid yang berlaku pula
baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor yang hukumnya tidak seperti
hukum-hukum haid? Ada perbedaan
pendapat di antara para ulama dalam masalah ini.
Dan pendapat
yang benar, bahwa darah tadi adalah darah haid apabila terjadi pada wanita
menurut kebiasaan waktu haidnya. Sebab, pada prinsipnya, darah yang terjadi
pada wanita adalah darah haid selama tidak ada sebab yang menolaknya sebagai
darah haid. Dan tidak ada keterangan dalam Al Qur'an maupun
Sunnah yang menolak kemungkinan tejadinya haid pada wanita hamil.
Inilah
madzhab Imam Malik dan Asy-Syafi'i, juga menjadi pilihan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah. Disebutkan dalam kitab Al Ikhtiyarat (hal. 30): "Dan
dinyatakan oleh Al-Baihaqi menurut salah satu riwayat sebagai pendapat dari
Imam Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa Imam Ahmad telah kembali kepada pendapat
ini".
Dengan
demikian, berlakulah pada haid wanita hamil apa yang juga berlaku pada haid
wanita tidak hamil, kecuali dalam dua masalah:
Talak.
Diharamkan
mentalak wanitatidakhamildalam keadaan haid, tetapi tidak diharamkan terhadap
wanita hamil. Sebab, talak dalam keadaan haid terhadap
wanita tidak hamil menyalahi firman Allah Ta 'ala:
"... apabila kamu
menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)..."(Ath-Thalaaq: 1)
Adapun mentalak wanita hamil dalam
keadaan haid tidak menyalahi firman Allah. Sebab, siapa yang mentalak wanita
hamil berarti ia mentalaknya pada saat dapat menghadapi masa iddahnya, baik
dalam keadaan haid ataupun suci, karena masa iddahnya dengan kehamilan. Untuk
itu, tidak diharamkan mentalak wanita hamil sekalipun setelah melakukan
jima' (senggama), dan berbeda hukumnya dengan wanita tidak hamil.
Iddah.
Bagi wanita hamil iddahnya berakhir
dengan melahirkan, meski pernah haid ketika hamil ataupun tidak.
Hal-hal diluar
Kebiasaan Haid
Ada beberapa hal yang terjadi di luar
kebiasaan haid:
1. Bertambah atau berkurangnya masa haid.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid
selama enam hari, tetapi tiba-tiba haidnya berlangsung sampai tujuh hari. Atau
sebaliknya, biasanya haid selama tujuh hari, tetapi tiba-tiba suci dalam masa
enam hari.
2.
Maju atau mundur waktu datangnya haid.
Misalnya,
seorang wanita biasanya haid pada akhir bulan lain tiba-tiba pada awal bulan.
Atau biasanya haid pada awal bulan lain tiba-tiba haid pada akhir bulan.
Para ulama
berbeda pendapat dalam menghukumi kedua hal di atas. Namun, pendapat yang benar
bahwa seorang wanita jika mendapatkan darah haid maka dia berada dalam keadaan
haid dan jika tidak mendapatkannya berarti dia dalam keadaan suci,
meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya serta maju atau
mundur dari waktu kebiasaannya. Dan telah disebutkan pada pasal terdahulu dalil
yang memperkuat pendapat ini, yaitu bahwa Allah telah mengaitkan hukum-hukum
haid dengan keberadaan haid.
Pendapat
tersebut merupakan madzhab ImamAsy-Syafi'I dan menjadi pilihan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah.
Pengarang
kitab Al Mughni pun ikut menguatkan pendapat ini dan membelanya, katanya:
"Andaikata adat kebiasaan menjadi dasar pertimbangan menurut yang
disebutkan dalam madzhab, niscaya dijelaskan oleh Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam kepada umatnya dan tidak akan ditunda-tunda lagi penjelasannya, karena
tidak mungkin beliau menunda-nunda penjelasan pada saat dibutuhkan.
Isteri-isteri beliau dan kaum wanita lainnya pun membutuhkan penjelasan itu
pada setiap saat, maka beliau tidak akan mengabaikan hal itu. Namun, ternyata
tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
pernah menyebutkan tentang adat kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali
yang berkenaan dengan wanita yang istihadhah saja."
3.
Darah berwarna kuning atau keruh.
Yakni seorang wanita mendapatkan
darahnya berwarna kuning seperti nanah atau keruh antara kekuning-kuningan dan
kehitam-hitaman. Jika hal ini tejadi pada saat haid atau bersambung dengan haid
sebelum suci, maka itu adalah darah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid.
Namun, jika terjadi sesudah masa suci, maka itu bukan darah haid. Berdasarkan
riwayat yang disampaikan oleh Ummu Athiyah Radhiyallahu 'Anha: "Kami
tidak menganggap, apa-apa darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah masa
suci"
Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan
sanad shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari tanpa kalimat "sesudah
masa suci ", tetapi beliau sebutkan dalam "Bab Darah Warna Kuning
Atau Keruh Di Luar Masa Haid".
Dan dalam Fathul Baari dijelaskan: "Itu merupakan isyarat Al-Bukhari untuk memadukan antara hadits Aisyah yang menyatakan, "sebelum kamu melihat lendir putih " dan hadits Ummu Athiyah yang disebutkan dalam bab ini, bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat wanita mendapatkan darah berwarna kuning atau keruh pada masa haid. Adapun di luar masa haid, maka menurut apa yang disampaikan Ummu Athiyah".
Dan dalam Fathul Baari dijelaskan: "Itu merupakan isyarat Al-Bukhari untuk memadukan antara hadits Aisyah yang menyatakan, "sebelum kamu melihat lendir putih " dan hadits Ummu Athiyah yang disebutkan dalam bab ini, bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat wanita mendapatkan darah berwarna kuning atau keruh pada masa haid. Adapun di luar masa haid, maka menurut apa yang disampaikan Ummu Athiyah".
Hadits Aisyah yang dimaksud yakni hadits
yang disebutkan oleh Al-Bukhari pada bab sebelumnya bahwa kaum wanita pernah
mengirimkan kepadanya sehelai kain berisi kapas (yang digunakan wanita
untuk mengetahui apakah masih ada sisa noda haid) yang masih terdapat padanya
darah berwarna kuning. Maka Aisyah berkata: "Janganlah tergesa-gesa
sebelum kamu melihat lendir putih ': maksudnya cairan putih yang keluar
dari rahim pada saat habis masa haid.
4. Darah haid keluar secara terputus-putus.
Yakni sehari keluar darah dan sehari
lagi tidak keluar. Dalam hal ini
terdapat 2 kondisi :
1. Jika
kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah itu
adalah darah istihadhah, dan berlaku baginya hukum istihadhah.
2. Jika
kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang wanita tetapi kadangkala saja
datang dan dia mempunyai saat suci yang tepat. Maka para ulama berbeda pendapat dalam menentukan
kondisi` ketika tidak keluar darah. Apakah hal ini merupakan masa suci atau
ternasuk dalam hukum haid?
Madzhab Imam Asy-Syafi'i, menurut salah
satu pendapatnya yang paling shahih, bahwa hal ini masih termasuk dalam hukum
haid. Pendapat ini pun menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan
pengarang kitab AI-Faiq, juga merupakan madzhab Imam Abu Hanifah. Sebab, dalam
kondisi seperti ini tidak didapatkan lendir putih; kalaupun diljadikan sebagai
keadaan suci berarti yang sebelumnya adalah haid dan yang sesudahnya pun haid,
dan tak ada seorangpun yang menyatakan demikian, karena jika demikian niscaya
masa iddah dengan perhitutungan quru' (haid atau suci) akan berakhir dalam masa
lima hari saja. Begitu pula jika dijadikan sebagai keadaan suci, niscaya akan
merepotkan dan menyulitkan karena harus mandi dan lain sebagainya setiap dua
hari; padahal tidaklah syari'at itu menyulitkan. Walhamdulillah.
Adapun yang masyhur menurut madzhab
pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, jika darah keluar berarti haid dan jika
berhenti berarti suci; kecuali apabila jumlah masanya melampaui jumlah maksimal
masa haid, maka darah yang melampaui itu adalah istihadhah.
Dikatakan dalam kitab Al-Mughni:
"Jika berhentinya darah kurang dari sehari maka seyogyanya tidak dianggap
sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkenaan dengan
nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari takperlu diperhatikan.
Dan inilah yang shahih, Insya Allah. Sebab, dalam keadaan keluarya darah yang
terputus-putus (sekali keluar sekalitidak) bila diwajibkan mandi bagi wanita
pada setiap saat terhenti keluarnya darah tentu hal itu menyulitkan, padahal
Allah Ta 'ala berfirman:
"Dan Dia
(Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
" (Al Hajj : 78 )
Atas dasar ini, berhentinya darah yang
kurang dari sehari bukan merupakan keadaan suci kecuali jika si wanita
mendapatkan bukti yang menunjukkan bahwa ia suci. Misalnya, berhentinya darah
tersebut: pada akhir masa kebiasaannya atau ia melihat lendir putih."
Dengan demikian, apa yang disampaikan
pengarang kitab Al-Mughni merupakan pendapat moderat antara dua pendapat di atas.
Dan Allah Maha Mengetahui yang benar.
5. Terjadi pengeringan darah.
Yakni, si wanita tidak mendapatkan
selain merasa lembab atau basah (pada kemaluannya).
Jika hal ini terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan haid sebelum masa suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi jika terjadi setelah masa suci, maka tidak termasuk haid. Sebab, keadaan seperti ini paling tidak dihukumi sama dengan keadaan darah berwarna kuning atau keruh.
Jika hal ini terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan haid sebelum masa suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi jika terjadi setelah masa suci, maka tidak termasuk haid. Sebab, keadaan seperti ini paling tidak dihukumi sama dengan keadaan darah berwarna kuning atau keruh.
Hukum-Hukum Haid
Terdapat banyak hukum haid, ada lebih
dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini hukum-hukum yang kami anggap
banyak diperlukan, antara lain:
1. Shalat.
Diharamkan bagi wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunat, dan tidak sah shalatnya. Jugatidak wajib baginya mengerjakan shalat, kecuali jika ia mendapatkan sebagian dari waktunya sebanyak satu rakaat sempuma, baik pada awal atau akhir waktunya.
Diharamkan bagi wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunat, dan tidak sah shalatnya. Jugatidak wajib baginya mengerjakan shalat, kecuali jika ia mendapatkan sebagian dari waktunya sebanyak satu rakaat sempuma, baik pada awal atau akhir waktunya.
Contoh pada awal waktu: seorang wanita
haid setelah matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan sebanyak satu
rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah suci, mengqadha' shalat
maghrib tersebut karena ia telah mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup
untuk satu rakaat sebelum kedatangan haid.
Adapun contoh pada akhir waktu,
seorang wanita suci dari haid sebelum matahari terbit dan masih sempat
mendapatkan satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah
bersuci, mengqadha' shalat Subuh tersebut karena ia masih sempat mendapatkan
sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat. Namun, jika wanita yang
haid mendapatkan sebagian dari waktu shalat yang tidak cukup untuk satu rakaat
sempuma; seperti: kedatangan haid - pada contoh pertama - sesaat setelah
matahari terbenam, atau suci dari haid - pada contoh kedua - sesaat sebelum
matahari terbit, maka shalat tersebut tidak wajib baginya. Berdasarkan sabda
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Barangsiapa mendapatkan satu
rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu.” (Hadits
Muttafaq 'alaih).
Pengertiannya, siapa yang mendapatkan
kurang dari satu rakaat berarti tidak mendapatkan shalat tersebut.
Jika seorang wanita haid mendapatkan
satu rakaat dari waktu Asar, apakah wajib baginya mengerjakan shalat dzuhur
bersama Ashar, atau mendapatkan satu rakaat dari waktu Isya' apakah wajib
baginya mengerjakan shalat Maghrib bersama Isya'?
Terdapat
perbedaan pendapat diantara para ulama dalam masalah ini. Dan yang benar, bahwa
tidak wajib baginya kecuali shalat yang didapatkan sebagian waktunya saja,
yaitu shalat Ashar dan Isya'. Karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam : "Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar
sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar itu ':
(Hadits muttafaq 'alaih).
Nabi tidak
menyatakan "maka ia telah mendapatkan shalat Zuhur dan Ashar", juga
tidak menyebutkan kewajiban shalat Zhuhur baginya. Dan menurut kaidah, seseorang itu pada prinsipnya bebas
dari tanggungan. Inilah madzhab Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, sebagaimana
disebutkan dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab. 9 (Syarh Al-Muhadzdzab, Juz 3, hal.
70.)
Adapun membaca
dzikir, takbir, tasbih, tahmid dan bismillah ketika hendak makan atau
pekerjaan lainnya, membaca hadits, fiqh, do'a dan aminnya, serta mendengarkan
Al Qur'an, maka tidak diharamkanbagi wanita haid. Hal ini berdasarkan hadits
dalam Shahih Al Bukhari - Muslim dan kitab lainnya bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wasallam pemah bersandar di kamar Aisyah Radhiyallahu 'anha yang
ketika itu sedang haid, lain beliau membaca Al Qur'an.
Diriwayatkan pula
dalam Shahih At Bukhari - Muslim dari Ummu 'Athiyah Radhiyallahu 'anha bahwa ia
mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Agar
keluar para gadis, perawan dan wanita haid - yakni ke shalat Idul Fitri dan
Adha - serta supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan dan doa orang-orang yang
beriman. Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat.”’
Sedangkan membaca
Al Qur'an bagi wanita haid itu sendiri, jika dengan mata atau dalam hati tanpa
diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya. Misalnya, mushaf atau
lembaran Al Qur'an diletakkaan lalu matanya menatap ayat-ayat seraya hatinya
membaca. Menurut An-Nawawi dalam kitab Syarh AlMuhadzdzab hal ini boleh, tanpa
ada perbedaan pendapat.
Adapun jika
wanita haid itu membaca Al Qur'an dengan lisan, maka banyak ulama
mengharamkannya dan tidak membolehkannya. Tetapi Al-Bukhari, Ibnu
JarirAt-Thabari dan Ibnul Mundzir membolehkannya. Juga boleh membaca ayat
Al-Qur'an bagi wanita haid, menurut Malik dan Asy-Syafi'i dalam pendapatnya
yang terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Bari ",serta
menurut Ibrahim An-Nakha'i sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa kumpulan Ibnu Qasim
mengatakan: "Pada dasarnya, tidak ada hadits yang melarang wanita haid
membaca Al Qur'an.
Sedangkan
pemyataan "Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca ayat Al qur 'an
" adalah hadits dhaif menurut kesepakatan para ahli hadits.
Seandainya wanita haid dilarang membaca Al Qur'an, seperti halnya shalat,
padahal pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kaum wanita pun
mengalami haid, tentu hal ini termasuk yang dijelaskan Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya, diketahui para isteri beliau
sebagai ibu-ibu kaum mu'minin, serta disampaikan para sahabat kepada
orang-orang. Namun, tidak ada seorangpun yang menyampaikan bahwa ada
larangan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam masalah ini. Karena
itu, tidak boleh dihukumi haram selama diketahui bahwa Nabi tidak melarangnya.
Jika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak melarangnya, padahal banyak
pula wanita haid pada zaman beliau, berarti hal ini tidak haram hukumnya."
Setelah
mengetahui perbedaan pendapat di antara para ulama, seyogyanya kita katakan,
lebih utama bagi wanita haid tidak membaca Al Qur'an secara lisan, kecuali jika
diperlukan. Misalnya, seorang guru wanita yang perlu mengajarkan membaca Al
Qur'an kepada siswi-siswinya, atau seorang siswi yang pada waktu ujian perlu
diuji dalam membaca Al Qur'an, dan lain sebagainya.
2. Puasa
Diharamkan bagi wanita haid berpuasa, baik puasa wajib maupun sunat, dan tidak sah puasa yang dilakukannya. Akan tetapi ia berkewajiban mengqadha' puasa yang wajib, berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha:"Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan mengqadha' shalat". (Hadits muttafaq 'alaih).
Diharamkan bagi wanita haid berpuasa, baik puasa wajib maupun sunat, dan tidak sah puasa yang dilakukannya. Akan tetapi ia berkewajiban mengqadha' puasa yang wajib, berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha:"Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan mengqadha' shalat". (Hadits muttafaq 'alaih).
Jika seorang wanita kedatangan haid
ketika sedang berpuasa maka batallah puasanya, sekalipun hal itu terjadi sesaat
menjelang maghrib, dan wajib baginya mengqadha' puasa hari itu jika puasa
wajib. Namun, jika ia merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelum
maghrib, tetapi baru keluar darah setelah maghrib, maka menurut pendapat yang
shahih bahwa puasanya itu sempuma dan tidak batal. Alasannya, darah yang masih
berada di dalam rahim belum ada hukumnya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika
ditanya tentang wanita yang bermimpi dalam tidur seperti mimpinya orang
laki-laki, apakah wajib mandi? Beliau pun menjawab: " Ya, jika wanita
itu melihat adanya air mani"
Dalam hadits ini
Nabi mengaitkan hukum dengan melihat air mani, bukan dengan tanda-tanda akan
keluarnya. Demikian pula masalah haid, tidak berlaku hukum-hukumnya kecuali
dengan melihat adanya darah keluar, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya.
Juga jika pada
saat terbitnya fajar seorang wanita masih dalam keadaan haid maka tidak sah berpuasa
pada hari itu, sekalipun ia suci sesaat setelah fajar. Tetapi jika suci
menjelang fajar, maka sah puasanya sekalipun ia baru mandi setelah terbit
fajar. Seperti halnya orang dalam keadaan junub, jika berniat puasa ketika
masih dalam keadaan junub dan belum sempat mandi kecuali setelah terbit fajar,
maka sah puasanya. Dasarya, hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha, katanya:
"pernah suatu pagi pada bulan Ramadhan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam keadaan junub karena jima', bukan karena mimpi, lalu beliau berpuasa". (Hadits muttafaq 'alaih).
"pernah suatu pagi pada bulan Ramadhan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam keadaan junub karena jima', bukan karena mimpi, lalu beliau berpuasa". (Hadits muttafaq 'alaih).
3. Tawaf
Diharamkan bagi wanita haid melakukan thawaf di Ka'bah, baik yang wajib maupun sunat, dan tidak sah thawafnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Aisyah: "Lakukanlah apayang dilakukanjemaah haji, hanya saja jangan melakukan rhavaf di Ka'bah sebelum kamu suci.”
Diharamkan bagi wanita haid melakukan thawaf di Ka'bah, baik yang wajib maupun sunat, dan tidak sah thawafnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Aisyah: "Lakukanlah apayang dilakukanjemaah haji, hanya saja jangan melakukan rhavaf di Ka'bah sebelum kamu suci.”
Adapun kewajiban lainnya, seperti sa'i
antara Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina,
melempar jumrah dan amalan haji serta umrah selain itu, tidak diharamkan. Atas
dasar ini, jika seorang wanita melakukan thawaf dalam keadaan suci, kemudian
keluar haid langsung setelah thawaf, atau di tengah-tengah melakukan sa'i, maka
tidak apa-apa hukumnya.
4. Thawaf Wada'
Jika seorang wanita telah mengejakan
seluruh manasik haji dan umrah, lain datang haid sebelum keluar untuk
kembali ke negerinya dan haid ini terus berlangsung sampai ia keluar,
maka ia boleh berangkat tanpa thawaf wada'. Dasarya, hadits Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhuma:
"Diperintahkan kepada
jemaah haji agar saat-saat terakhir bagi mereka berada di Baitullah
(melakukan thawaf wada'), hanya saja hal itu tidak dibebankan kepada wanita
haid. " (Hadits Muttafaq 'Alaih).
Dan tidak disunatkan bagi wanita haid
ketika hendak bertolak, mendatangi pintu Masjidil Haram dan berdo'a. Karena hal
ini tidak ada dasar ajarannya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ,
sedangkan seluruh ibadah harus berdasarkan pada ajaran (sunnah) Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam . Bahkan, menurut ajaran (sunnah) Nabi shallallahu
'alaihi wasallam adalah sebaliknya. Sebagaimana disebutkan dalam kisah
Shafiyah, Radhiyallahu 'anha, ketika dalam keadaan haid setelah thawaf ifadhah
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Kalau
demikian, hendaklah ia berangkat" (Hadits Muttafaq 'Alaih).
Dalam hadits ini, Nabi tidak
menyuruhnya mendatangi pintu Masjidil Haram. Andaikata hal itu disyariatkan,
tentu Nabi sudah menjelaskannya. Adapun thawaf untuk haji dan umrah tetap wajib
bagi wanita haid, dan dilakukan setelah suci.
5. Berdiam dalam Masjid
Diharamkan bagi wanita haid berdiam
dalam masjid, bahkan diharamkan pula baginya berdiam dalam tempat shalat Ied.
Berdasarkanhadits Ummu Athiyah Radhiallahu bahwa ia mendengar Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
"Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid...Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat." (Hadits Muttafaq 'Alaih).
"Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid...Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat." (Hadits Muttafaq 'Alaih).
6. Jima' (senggama)
Diharamkan bagi sang suami melakukan
jima'dengan isterinya yang sedang haid, dan diharamkan bagi sang isteri memberi
kesempatan kepada suaminya melakukan hal tersebut. Dalilnya, firman Allah Ta 'ala: "Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu
kotoran': Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktuu
haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka besuci…."
(Al-Baqarah: 222)
Yang dimaksud
dengan ….. dalam ayat di atas adalah waktu haid atau tempat keluamya yaitu
farji (vagina).Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Lakukan
apa saja, kecuali nikah (yakni: bersenggama)." (Hadits riwayat
Muslim).
Umat Islam juga
telah berijma' (sepakat) atas dilarangnya suami melakukan jima ' dengan
isterinya yang sedang haid dalam farjinya.
Oleh karena itu, tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan perbuatan mungkar ini, yang telah dilarang oleh Kitab Allah, sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam dan ijma' ummat Islam. Maka siapa yang melanggar larangan ini, berarti ia telah memusuhi Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman.
Oleh karena itu, tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan perbuatan mungkar ini, yang telah dilarang oleh Kitab Allah, sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam dan ijma' ummat Islam. Maka siapa yang melanggar larangan ini, berarti ia telah memusuhi Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman.
An-Nawawi dalam
kitab Al-Majmu' Syarh AlMuhadzdzab mengatakan: "Imam Asy-Syafi'i
berpendapat bahwa orang yang melakukan hal itu telah berbuat dosa besar. Dan
menurut para sahabat kami serta yang lainnya, orang yang menghalallkan senggama
dengan isteri yang haid hukumnya kafir."
Untuk menyalurkan
syahwatnya, suami diperbolehkan melakukan selain jima' (senggama), seperti:
berciuman, berpelukan dan bersebadan pada selain daerah farji (vagina).
Namun, sebaiknya,
jangan bersebadan pada daerah antara pusat dan lutut kecuali jika sang isteri
mengenakan kain penutup. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah
Radhiallahu 'anha: 74. "Pemah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkain,
lalu beliau menggauliku sedang aku dalam keadaan haid." (Hadits muttafaq 'alaih).
7.
Talak
Diharamkan bagi seorang suami mentalak isterinya yang sedang haid, berdasarkan firman Allah Ta 'ala:
Diharamkan bagi seorang suami mentalak isterinya yang sedang haid, berdasarkan firman Allah Ta 'ala:
"Hai Nabi,
apabila Kamu menceraikan isteri-terimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada
waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) ... "(Ath-Thalaq: 1)
Maksudnya,
isteri-isteri itu ditalak dalam keadaan dapat menghadapi iddah yang jelas.
Berarti, mereka tidak ditalak kecuali dalam keadaan hamil atau suci
sebelum digauli.
Sebab, jika
seorang isteri ditalak dalam keadaan haid, ia tidak dapat menghadapi iddahnya
karena haid yang sedang dialami pada saat jatuhnya talak itu tidak dihitung
termasuk iddah.
Sedangkan jika
ditalak dalam keadaan suci setelah digauli, berarti iddah yang dihadapinya
tidakjelas karena tidak dapat diketahui apakah ia hamil karena digauli tersebut
atau tidak. Jika hamil, maka iddahnya dengan kehamilan; danjika tidak, maka
iddahnya dengan haid. Karena belum dapat dipastikan jenis iddahnya, maka
diharamkan bagi sang suami mentalak isterinya sehingga jelas permasalahan
tersebut.
Jadi, mentalak isteri yang sedang haid haram hukumnya. Berdasarkan ayat di atas dan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim serta kitab hadits lainnya, bahwa ia telah menceraikan isterinya dalam keadaan haid, maka Umar (bapaknya) mengadukan hal itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam . Maka, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun marah dan bersabda: "Suruh ia merujuk isterinya kemudian mempertahankannya sampai ia suci, lalu haid lalu suci lagi. Setelah itu, jika ia mau, dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli. Karena itulah iddah yang diperintahkan Allah dalam mentalak isteri."
Jadi, mentalak isteri yang sedang haid haram hukumnya. Berdasarkan ayat di atas dan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim serta kitab hadits lainnya, bahwa ia telah menceraikan isterinya dalam keadaan haid, maka Umar (bapaknya) mengadukan hal itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam . Maka, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun marah dan bersabda: "Suruh ia merujuk isterinya kemudian mempertahankannya sampai ia suci, lalu haid lalu suci lagi. Setelah itu, jika ia mau, dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli. Karena itulah iddah yang diperintahkan Allah dalam mentalak isteri."
Dengan
demikian,berdosalah seorang suami andai kata mentalak isterinya yang sedang
haid. Ia harus bertaubat kepada Allah dan merujuk isterinya untuk kemudian
mentalaknya secara syar'i sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Yakni,
setelah merujuk isterinya hendaklah ia membiarkannya' sampai suci dari haid
yang dialaminya ketika ditalak, kemudian haid lagi, setelah itu jika ia
menghendaki dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli.
Dalam hal diharamkannya mentalak isteri yang sedang haid ada tiga masalah yang dikecualikan:
Dalam hal diharamkannya mentalak isteri yang sedang haid ada tiga masalah yang dikecualikan:
1.
Jika talak terjadi sebelum berkumpul dengan isteri atau
sebelum menggaulinya (dalam keadaan pengantin baru misalnya, pent.), maka
boleh mentalaknya dalam keadaan haid. Sebab, dalam kasus demikian, si isteri
tidak terkena iddah, maka talak tersebut pun tidak menyalahi firman :
"….Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat ( menghadapi) iddahnya
(yang wajar)…" (Ath-Thalaq : 1)
2. Jika haid terjadi dalam keadaan hamil, sebagaimana telah
dijelaskan sebabnya pada pasal terdahulu.
3.
Jika talak tersebut atas dasar 'iwadh(penggantian), maka
boleh bagi suami menceraikan isterinya yang sedang haid.
Misalnya, terjadi
percekcokan dan hubungan yang tidak harmonis lagi antara suami-isteri. Lalu si
isteri meminta suami agar mentalaknya dan suami memperoleh ganti rugi
karenanya, maka hal itu boleh sekalipun isteri dalam keadaan haid. Berdasarkan
hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma: " Bahwa isteri Tsabit bin
Qais bin Syammas datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan
berkata : "Ya Rasulullah, sungguh aku tidak mencelanya dalam akhlak maupun
agamanya, tetapi aku takut akan kekafiran dalam Islam." Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bertanya : "Maukah kamu mengembalikan kepadanya?"
Wanita itu menjawab: "Ya" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun
bersabda (kepada suaminya): "Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia"
(Hadits riwayat Al-Bukhari).
Dalam hadits tadi
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak bertanya apakah si isteri sedang
haid atau suci. Dan karena talak ini dibayar oleh pihak isteri dengan tebusan
atas dirinya maka hukumnya boleh dalam keadaan bagaimanapun, jika memang
diperlukan Dalam kitab Al-Mughni disebutkan tentang alasan bolehnya khulu'
(cerai atas permintaan pihak isteri dengan membayar tebusan) dalam keadaanhaid:
"Dilarangnya talak dalam keadaan haid adalah adanya madhmat (bahaya) bagi
si isteri dengan menunggu lamanya masa 'iddah. Sedang khulu '
adalah untuk menghilangkan madhmat bagi si
isteri disebabkan hubungan yang tidak harmonis dan sudah tidak tahan
tinggal bersama suami yang dibenci dan tidak disenanginya.
Hal ini tentu lebih besar madharatnya bagi si isteri daripada
menunggu lamanya masa 'iddah, maka diperbolehkan
menghindari madharat yang lebih besar dengan menjalani sesuatu yang
lebih ringan madharatnya.
Karena itu Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam tidak bertanya kepada wanita yang meminta Khulu'
tentang keadaannya."
Dan dibolehkan
melakukan akad nikah dengan wanita yang sedang haid, karena hal itu pada
dasamya adalah halal, dan tidak ada dalil yang melarangnya. Namun, perlu
dipertimbangkan bila suami diperkenankan berkumpul dengan isteri
yang sedang dalam keadaan haid. Jika tidak dikhawatirkan akan menggauli
isterinya yang sedang haid tidak apa-apa. Sebaliknya, jika dikhawatirkan maka
tidak diperkenankan berkumpul dengannya sebelum suci untuk menghindari hal-hal
yang dilarang.
8. Iddah talak dihitung dengan haid.
Jika seorang
suami menceraikan isteri yang telah digauli atau berkumpul dengannya,maka si
isteri harus beriddah selama tiga kali haid secara sempurna apabila termasuk
wanita yang masih mengalami haid dan tidak hamil. Hal ini didasarkan pada
firman Allah:
"Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'…" (Al-Baqarah : 28).
Tiga kali guru'
artinya tiga kali haid. Tetapi jika si isteri dalam keadaan hamil, maka
iddahnya ialah sampai melahirkan, baik masa iddahnya itu lama maupun sebentar.
Berdasarkan firman Allah:
"….Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya…"
(Ath-Thalaq: 4)
Jika si isteri
termasuk wanita yang tidak haid, karena masih kecil dan belum mengalami
haid, atau sudah menopause, atau karena pernah operasi pada rahimnya, atau
sebab-sebab lain sehingga tidak diharapkan dapat haid kembali, maka iddahnya
adalah tiga bulan. Sebagaimana firman Allah:
"Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya…"
(Ath-Thalaq:4)
Jika si isteri
termasuk wanita yang masih mengalami haid, tetapi terhenti haidnya karena suatu
sebab yang jelas seperti sakit atau menyusui, maka ia tetap dalam iddahnya
sekalipun lama masa iddahnya sampai ia kembali mendapati haid dan ber-iddah
dengan haid itu. Namun jika sebab itu sudah tidak ada,seperti sudah sembuh dari
sakit atau telah selesai dari menyusui sementara haidnya tak kunjung datang,
maka iddahnya satu tahun penuh terhitung mulai dari tidak adanya sebab
tersebut. Inilah pendapat yang shahih yang sesuai dengan kaidah-kaidah
syar'iyah Dengan alasan, jika sebab itu sudah tidak ada sementara haid tak
kunjung datang maka wanita tersebut hukumnya seperti wanita yang terhenti
haidnya karena sebab yang tidak jelas. Dan jika terhenti haidnya karena sebab
yang tidakjelas, maka iddahnya yaitu satu tahun penuh dengan perhitungan:
sembilan bulan sebagai sikap hati-hati untuk kemungkinan hamil(karena masa
kehamilan pada umumnya 9 bulan) dan tiga bulan untuk iddahnya.
Adapun jika talak
terjadi setelah akad nikah sedang sang suami belum mencampuri dan menggauli
isterinya, maka dalam hal ini tidak ada iddah sama sekali, baik dengan haid
maupun yang lain. Berdasarkan firman Allah :
"Hai
orang-orangyang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib iddah yang kamu minta
menyempurnakannya.. "
(Al-Ahzaab: 49 )
9. Keputusan bebasnya rahim.
Yakni keputusan
bahwa rahim bebas dari kandungan. Ini diperlukan selama keputusan bebasnya
rahim dianggap perlu, karena hal ini berkaitan dengan beberapa masalah.
Antara lain,
apabila seseorang mati dan meninggalkan wanita (isteri) yang kandungannya dapat
menjadi ahli waris orang tersebut, padahal si wanita setelah itu bersuami lagi.
Maka suaminya
yang barn itu tidak boleh menggaulinya sebelum ia haid atau jelas kehamilannya.
Jika telah jelas kehamilannya, maka kita hukumi bahwa janin yang
dikandungnya mendapatkan hak warisan karena kita putuskan adanya
janin tersebut pada saat bapaknya mati.
Namun, jika
wanita itu pernah haid (sepeninggal suaminya yang pertama), maka kita
hukumi bahwa janin yang dikandungnya tidak mendapatkan hak warisan karena kita
putuskan bahwa rahim wanita tersebut bebas dari kehamilan dengan adanya haid.
10.
Kewajiban
mandi.
Wanita haid jika telah suci wajib
mandi dengan membersihkan seluruh badannya. Berdasarkan sabda Nabi kepada
Fatimah binti Abu Hubaisy:
"Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah suci mandilah dan kerjakan shalat." (Hadits riwayat Al-Bukhari).
"Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah suci mandilah dan kerjakan shalat." (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Kewajiban minimal dalam mandi yaitu
membersihkan seluruh anggota badan sampai bagian kulit yang ada di bawah
rambut. `Yang afdhal (lebih utama), adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tatkala ditanya oleh Asma binti Syakl
tentang mandi haid, beliau bersabda:
"Hendaklah seseorang
diantara kamu mengambil air dan daun bidara lalu berwudhu sempurna, kemudian
menguyurkan air diatas kepala dan menggosok-gosoknya dengan kuat sehingga
merata keseluruh kepalanya, selanjutnya mengguyurkan air pada anggota badannya.
Setelah itu mengambil sehelai kain putih yang ada pengharumnya untuk bersuci
dengannya. 'Asma bertanya: "Bagaimana bersuci dengannya?" Nabi
menjawab: "Subhanallah." Maka Aisyah pun menerangkan dengan berkata:
"Ikutilah bekas-bekas darah."
(HR. Muslim )
Tidak wajib melepas gelungan rambut,
kecuali jika terikat kuat dan dikhawatirkan air tidak sampai kedasar
rambut. Hal ini didasarkan pada hadits yang tersebut dalam Shahih Muslim
Mtrslim dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha bahwa ia bertanya kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, "Aku seorang wanita yang menggelung
rambutku, haruskah aku melepaskannya untuk mandi janabat?" Menurut riwayat
lain "untuk (mandi) haid danJanabat?" Nabi bersabda :"Tidak.
Cukup kamu siram kepalamu tiga kali siraman (dengan tanganmu), lalu kamu
guyurkan air ke seluruh tubuhmu, maka kamupun menjadi suci."
Apabila wanita haid mengalami suci di
tengah-tengah waktu shalat, ia harus segera mandi agar dapat melakukan shalat
pada waktunya. Jika ia sedang dalam perjalanan dan tidak ada air, atau ada air
tetapi takut membahayakan dirinya dengan menggunakan air, atau sakit dan berbahaya
baginya air, maka ia boleh bertayammum sebagai ganti dari mandi sampai hal yang
menghalanginya itu tidak ada lagi, kemudian mandi.
Ada di antara kaum wanita yang suci di
tengah-tengah waktu shalat tetapi menunda mandi ke waktu lain, dalihnya:
''Tidak mungkin dapat mandi sempurna pada waktu sekarang ini." Akan tetapi
ini bukan alasan ataupun halangan karena boleh baginya mandi sekedar untuk
memenuhi yang wajib dan melaksanakan shalat pada waktunya. Apabila kemudian ada
kesempatan lapang, barulah ia dapat mandi dengan sempurna.
Istihadah Dan Hukum-Hukumnya
Makna Istihadah
Istihadhah ialah keluamya darah
terus-menerus pada seorang wanita tanpa henti sama sekali atau berhenti
sebentar seperti sehari atau dua hari dalam sebulan.
Dalil kondisi pertama, yakni keluamya
darah terus-menerus tanpa henti sama sekali, hadits riwayat Al- Bukhari dari
Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy berkata kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :
"Ya Rasulullah, sungguh aku ini
tak pemah suci " Dalam riwayat lain· "Aku mengalami istihadhah maka
tak pemah suci. "
Dalil kondisi kedua, yakni darah tidak
berhenti kecuali sebentar, hadits dari Hamnah binti Jahsy ketika datang kepada
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata:
"Ya Rasulullah, sungguh aku
sedang mengalami Istihadhah yang deras sekali. " (Hadits riwayat Ahmad,AbuDawud dan At-Tirmidi dengan
menyatakan shahih. Disebutkan pula bahwa hadits ini menurut Imam Ahmad shahih,
sedang menurut Al-Bukhari hasan.)
Kondisi wanita mustahadhah
Ada tiga kondisi bagi wanita
mustahadhah:
1. Sebelum mengalami istihadhah, ia mempunyai haid yang jelas
waktunya. Dalam kondisi ini, hendaklah ia berpedoman kepada jadwal haidnya yang
telah diketahui sebelumnya. Maka pada masa itu dihitung sebagai haid dan berlaku
baginya hukum-hukum haid. Adapun selain masa tersebut merupakan istihadhah yang
berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid
selama enam hari pada setiap awal bulan,
tiba-tiba mengalami istihadhah dan darahnya keluar terus-menerus. Maka
masa haidnya dihitung enam hari pada setiap awal bulan, sedang selainnya
merupakan istihadhah. Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa
Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Ya
Rasulullah, sungguh aku mengalami istihadhah maka tidak pernah suci, apakah aku
meninggalkan shalat? Nabi menjawab: Tidak, itu adalah darah penyakit. Namun
tinggalkan shalat sebanyak hari yang biasanya kamu haid sebelum itu, kemudian
mandilah dan lakukan shalat. " (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Ummu Habibah binti Jahsy:
"Diamlah selama masa haid yang biasa menghalangimu, lalu mandilah dan
lakukan shalat. " Dengan demikian,wanita mustahadhah yang haidnya
sudah jelas waktunya menunggu selama masa haidnya itu. Setelah itu mandi dan
shalat, biar pun darah pada saat itu masih keluar.
2. Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya sebelum mengalami
istihadhah, karena istihadhah tersebut terus-menerus terjadi padanya mulai dari
saat pertama kali ia mendapati darah. Dalam kondisi ini, hendaklah ia
melakukan tamyiz (pembedaan); seperti jika darahnya berwarna hitam, atau
kental,. atau berbau maka yang terjadi adalah haid dan berlaku baginya
hukum-hukum haid. Dan jika tidak demikian, yang terjadi adalah istihadhah
dan berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.
Misalnya, seorang wanita
pada saat pertama kali mendapati darah dan darah itu keluar terus menerus; akan
tetapi ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya berwama hitam
kemudian setelah itu berwama merah, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam
sebulan darahnya kental kemudian setelah itu encer, atau ia dapati selama
sepuluh hari dalam sebulan berbau darah haid tetapi setelah itu tidak berbau
maka haidnya yaitu darah yang berwama hitam (pada kasuspertama), darah kental
(pada kasus kedua) dan darah yang berbau (padakasus ketiga). Sedangkan selain
hal tersebut, dianggap sebagai darah istihadhah.
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu
'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy: “Darah haid yaitu
apabila berwarna hitam yang dapat diketahui. Jika demikian maka tinggalkan
shalat. Tetapi jika selainnya maka berwudhulah dan lakukan shalat karena itu
darah penyakit.” (Hadits riwayat Abu Dawud, An-Nasa'I dan dinyatakan shahih
oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim).
Hadits ini, meskipun perlu ditinjau lagi dari segi sanad dan matannya, telah diamalkan oleh para ulama' rahimahumullah. Dan hal itu lebih utama daripada dikembalikan kepada kebiasaan kaum wanita pada umumnya.
3. Tidak mempunyai haid yangjelas waktunya dan tidak bisa
dibedakan secara tepat darahnya. Seperti: jika istihadhah yang dialaminya
terjadi terus-menerus mulai dari saat pertama kali melihat darah
sementara darahnya menurut satu sifat saja atau berubah-ubah dan tidak mungkin
dianggap sebagai darah haid. Dalam kondisi ini, hendaklah ia mengambil
kebiasaan kaum wanita pada umumnya.
Maka masa haidnya adalah enam atau
tujuh hari pada setiap bulan dihitung mulai dari saat pertama kali
mendapati darah Sedang selebihnya merupakan istihadhah.
Misalnya, seorang wanita saat
pertama kali melihat darah pada tanggal 5 dan darah itu keluar
terus-menerus tanpa dapat dibedakan secara tepat mana yang darah haid, baik
melalui wama ataupun dengan cara lain. Maka haidnya pada setiap bulan
dihitung selama enam atau tujuh hari dimulai dari tanggal tersebut.
Hal ini berdasarkan hadits
Hamnah binti Jahsy Radhiyallahu 'anha bahwa ia berkata kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam : "Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami
istihadah yang deras sekali. Lalu bagaimana pendapatmu tentangnya karena ia
telah menghalangiku shalat dan berpuasa? Beliau bersabda: "Aku beritahukan
kepadamu (untuk menggunakan) kapas dengan melekatkannya pada farji, karena hal
itu dapat menyerap darah". Hamnah berkata: "Darahnya lebih banyak
dari itu". Nabipun bersabda: "Ini hanyalah salah satu usikan syetan.
Maka hitunglah haidmu 6 atau 7 hari menurut ilmu Allah Ta'ala lalu mandilah
sampai kamu merasa telah bersih dan suci, kemudian shalatlah selama 24 atau 3
hari, dan puasalah." (Hadits riwayat Ahmad,Abu Dawud dan
At-Tirmidzi. Menurut Ahmad dan At-Tirmidzi hadits ini shahih, sedang menurut
Al-Bukhari hasan).
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam : 6 atau 7 hari tersebut bukan untuk memberikan pilihan, tapi agar si
wanita berijtihad dengan cara memperhatikan mana yang lebih
mendekati kondisinya dari wanita lain yang lebih mirip kondisi fisiknya, lebih
dekat usia dan hubungan kekeluargaannya serta memperhatikan mana yang lebih
mendekati haid dari keadaan darahnya dan pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Jika kondisi yang lebih mendekati selama 6 hari, maka dia hitung masa haidnya 6 hari; tetapi jika kondisi yang lebih mendekati selama 7 hari, maka dia hitung masa haidnya 7 hari.
Jika kondisi yang lebih mendekati selama 6 hari, maka dia hitung masa haidnya 6 hari; tetapi jika kondisi yang lebih mendekati selama 7 hari, maka dia hitung masa haidnya 7 hari.
Hal Wanita Yang Mirip Mustahadhah
Kadangkala seorang wanita,
karena sesuatu sebab, mengalami pendarahan pada farjinya, seperti karena
operasi pada rahim atau sekitarnya. Hal ini ada dua macam:
1. Diketahui bahwa si wanita tidak mungkin haid lagi
setelah operasi, seperti operasi pengangkatan atau penutupan rahim yang
mengakibatkan darah tidak bisa keluar lagi darinya, maka tidak
berlaku baginya hukum-hukum mustahadhah. Namun hukumnya adalah hukum wanita
yang mendapati cairan kuning, atau keruh, atau basah setelah masa suci. Karena itu ia tidak boleh meninggallkan shalat atau puasa
dan boleh digauli. Tidak wajib baginya mandi karena keluarnya darah,tapi ia
harus membersihkan darah tersebut ketika hendak shalat dan supaya melekatkan
kain atau semisalnya (seperti pembalut wanita) pada farjiya untuk menahan
keluarnya darah, kemudian berwudhu untuk shalat. Janganlah ia berwudhu untuk
shalat kecuali telah masuk waktunya,jika shalat itu telah tertentu waktunya
seperti shalat lima waktu; jika tidak tertentu waktunya maka ia berwudhu
ketika hendak mengerjakannya seperti shalat sunat yang mutlak.
2. Tidak diketahui bahwa siwanita tidak
bisa haid setelah operasi, tetapi diperkirakan bisa haid lagi. Maka berlaku
baginya hukum mustahadhah. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu
'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abi Hubaisy: " Itu hanyalah
darah penyakit, bukan haid. Jika datang haid, maka
tinggalkan shalat."
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam : "Jika datang haid..." menunjukkan bahwa hukum mustahadhah
berlaku bagi wanita yang berkemungkinan haid, yang bisa datang atau berhenti.
Adapun wanita yang tidak berkemungkinan haid maka darah yang keluar pada prinsipnya, dihukumi sebagai darah penyakit.
Adapun wanita yang tidak berkemungkinan haid maka darah yang keluar pada prinsipnya, dihukumi sebagai darah penyakit.
Hukum-Hukum Istihadhah
Dari penjelasan terdahulu, dapat kita
mengerti kapan darah itu sebagai darah haid dan kapan sebagai darah istihadhah.
Jika yang terjadi adalah darah haid
maka berlaku baginya hukum-hukum haid, sedangkan jika yang terjadi darah
istihadhah maka yang berlalku pun hukum-hukum istihadhah.
Hukum-hukum haid yang penting telah
dijelaskan di muka. Adapun hukum-hukum istihadhah seperti,halnya hukum-hukum
tuhr (keadaan suci). Tidak ada perbedaan antara wanita mustahdhah dan wanita
suci, kecuali dalam hal berikut ini:
a. Wanita mustahadhah wajib berwudhu setiap kali hendak shalat.
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu
Hubaisy: " Kemudian berwudhulah kamu setiap kali hendak shalat"
(Hadits riwayat Al-Bukhari dalam Bab Membersihkan Darah).
Hal itu memberikan
pemahaman bahwa wanita mustahadhah tidak berwudhu untuk shalat yang telah
tertentu waktunya kecuali jika telah masuk waktunya.
Sedangkan shalat yang tidak tertentu
waktunya, maka ia bervudhu pada saat hendak melakukannya
b. Ketika hendak berwudhu, membersihkan sisa-sisa darah dan
melekatkan kain dengan kapas (atau pembalut wanita) pada farjinya untuk
mencegah keluarnya darah. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam kepada Hamnah: "Aku beritahukan kepadamu (untuk
menggunakan) kapas, karena hal itu dapat menyerap darah". Hamnah berkata:
'Darahnya lebih banyak dari itu". Beliau bersabda: "gunakan
kain!". Kata Hamnah: "Darahnya masih banyak pula". Nabipun
bersabda: "Maka pakailah penahan!"
Kalaupun masih ada darah yang keluar setelah tindakan tersebut, maka tidak apa-apa hukumnya. Karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy: "Tinggalkan shalat selama hari-hari haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah untuk setiap kali shalat, lalu shalatlah meskipun darah menetes di atas alas. " (Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
Kalaupun masih ada darah yang keluar setelah tindakan tersebut, maka tidak apa-apa hukumnya. Karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy: "Tinggalkan shalat selama hari-hari haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah untuk setiap kali shalat, lalu shalatlah meskipun darah menetes di atas alas. " (Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
c. Jima' (senggama). Para ulama berbeda pendapat tentang
kebolehannya pada kondisi bila ditinggalkan tidak
dikhawatirkan menyebabkan zina. Yang benar adalah boleh secara mutlak Karena
ada banyak wanita,mencapai sepuluh atau lebih, mengalami istihadhah pada zaman
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ,sementara Allah dan Rasul-Nya tidak melarang
jima' dengan mereka. Firman Allah
Ta'ala: ”... hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haid ... " (Al-Baqarah:
222)
Ayat ini menunjukkan bahwa di luar
keadaan haid, suami tidak wajib menjauhkan diri dari isteri. Kalaupun shalat
saja boleh dilakukan wanita mustahadhah, maka jima 'pun tentu lebih boleh Dan
tidak benar jima' wanita mustahadhah dikiaskan dengan jima 'wanita haid,karena
keduanya tidak sama, bahkan menurut pendapat para ulama yang menyatakan haram. Sebab, mengkiaskan sesuatu dengan hal yang babeda adalah
tidak sah.
Nifas Dan Hukum-Hukumnya
1. Makna Nifas
Nifas ialah darah yang keluar dari
rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya
atau sebelumnya ( 2 atau 3 hari) yang disertai dengan rasa sakit.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan: "Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit
adalah nifas." Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan
maksudnva yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak,
maka itu bukan nifas.
Para ulama berbeda pendapat tentang
apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin
dalam risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa
syari'at, halaman 37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya.
Andaikata ada seorang wanita mendapati darah lebih dari 40,60 atau 70 hari dan
berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu darah
kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu
merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits."
Atas dasar ini, jika darah nifasnya
melebihi 40 hari, padahal menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah masa
itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat,
hendaklah si wanita menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika
sempurna 40 hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau
bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya.
Jika berhenti setelah masa (40hari) itu, maka hendaklah hal
tersebut dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia
pergunakan pada masa mendatang.
Namun jika darahnya terus menerus
keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini,hendaklah ia kembali kepada
hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan pada pasal sebelumnya.
Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam
keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi ,
shalat, berpuasa dan boleh digauli
oleh suaminya.Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu
hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam kitab
Al-Mughni.
Nifas tidak dapat ditetapkan,
kecualijika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Seandainya
ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka darah
yang keluar itu bukanlah darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit.
Karena itu yang berlaku baginya adalah hukum wanita mustahadhah.
Minimal masa kehamilan sehingga janin
berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90
hari. Menurut Al-Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab Syarhul
Iqna': "Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit
sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas). Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak
puasa. Kemudian, apabila sesudah kelahiran temyata tidak sesuai dengan
kenyataan maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak
teryata demikian, tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak pedu
kembali mengerjakan kewajiban"
2. Hukum-hukum Nifas
Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama
dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut ini:
a.
Iddah. dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan
nifas. Sebab, jika talak jatuh sebelum isteri melahirkan iddahnya akan habis
karena melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah
melahirkan, maka ia menunggu sampai haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan.
b.
Masa ila'. Masa haid termasuk hitungan masa ila',
sedangkan masa nifas tidak.
Ila' yaitu jika
seorang suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya selama-lamanya, atau
selama lebih dari empat bulan. Apabila dia bersumpah demikian dan si
isteri menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan
dari saat bersumpah. Setelah sempurna
masa tersebut, suami diharuskan menggauli isterinya, atau menceraikan atas
permintaan isteri. Dalam masa ila' selama empat bulan bila si wanita mengalami
nifas, tidak dihitung terhadap sang
suami, dan ditambahkan atas empat bulan tadi selama masa nifas.
Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.
Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.
c.
Baligh. Masa baligh terjadi denganhaid, bukan dengan
nifas. Karena seorang wanita tidakmungkinbisa hami sebelum haid, maka
masabaligh seorang wanita terjadi dengan datangnya haid yang mendahului
kehamilan.
d.
Darah haid jika berhenti lain kembali keluar tetapi masih
dalam waktu biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya, seorang
wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari haidnya
berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan kedelapan;
maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah darah haid.
Adapun darah
nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari
keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita shalat
dan puasa fardhu yang tertentu waktunya pada waktunya dan terlarang baginya apa
yang terlarang bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci,
ia harus mengqadha' apa yang diperbuatnya selama keluarya darah yang diragukan,
yaitu yang wajib diqadha' wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menunut
para fuqaha ' dari Madzhab Hanbali.
Yang benar, jika
darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai nifas maka
termasuk nifas. Jika tidak, maka darah haid. Kecuali jika darah itu keluar
terus menerus maka merupakan istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang
disebutkan dalam kitab AI-Mughni' bahwa Imam Malik mengatakan:
"Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari, yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk nifas.
Jika tidak, berarti darah haid." Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
"Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari, yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk nifas.
Jika tidak, berarti darah haid." Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut
kenyataan, tidak ada sesuatu yang diragukan dalam masalah darah. Namun,
keragu-raguan adalah hal yang relatif, masing-masing orang berbeda dalam hal
ini sesuai dengan ilmu dan pemahamannya. Padahal Al-Qur'an dan Sunnah
berisi penjelasan atas segala sesuatu.
Allah tidak
pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua kali, kecuali jika ada
kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak dapat diatasi kecuali dengan
mengqadha'. Adapun jika seseorang dapat mengerjakan kewajiban sesuai dengan
kemampuannya maka ia telah terbebas dari tanggungannya. Sebagaimana firman
Allah: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan..
"(Al-Baqarah: 286).
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ..." (At-Taghabun : 16)
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ..." (At-Taghabun : 16)
e.
Dalam haid,jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya,
maka suami boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas, jika ia
suci sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh menggaulinya, menurut yang
masyhur dalam madzhab Hanbali. Yang benar,menurut pendapat kebanyakan ulama,
suami tidak dilarang menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar'i yang
menunjukkan bahwa hal itu dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan Imam Ahmad
dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa isterinya datang kepadanya sebelum empat puluh
hari, lalu ia berkata: "Jangan kau dekati aku !".
Ucapan Utsman
tersebut tidak berarti suami terlarang menggauli isterinya karena hal itu
mungkin saja merupakan sikap hati-hati Ustman, yaknik hawatir kalau isterinya
belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama
atau sebab lainnya.
Wallahu a 'lam.
Penggunaan Alat
Pencegah atau Perangsang haid, Pencegah Kehamilan Dan Penggugur Kandungan
1. Pencegah Haid
Diperbolehkan bagi wanita menggunakan
alat pencegah haid, tapi dengan dua syarat:
a. Tidak dikhawatirkan membahayakan dirinya. Bila dikhawatirkan
membahayakan dirinya karena menggunakan alat tersebut, maka hukumnya tidak
boleh. Berdasarkan firman Allah Ta 'ala:
"... Dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,...” ( Al-Baqarah : 195).
"… Dan janganlah kamu
membunuh dirimu sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu."(An Nisa': 29).
b. Dengan seizin suami, apabila penggunaan alat tersebut
mempunyai kaitan denganya. Contohnya, si isteri dalam keadaan beriddah
dari suami yang masih berkewajiban memberi makan kepadanya, menggunakan alat
pencegah haid supaya lebih lama masa iddahnya dan bertambah nafkah yang
diberikannya. Hukumya, tidak boleh bagi si isteri menggunakan alat pencegah
haid saat itu kecuali dengan izin suami.
Demikian pula jika terbukti bahwa
pencegahan haid dapat mencegah kehamilan,maka harus dengan seizin suami.
Meski secara hukum boleh, namun lebih utama tidak menggunakan alat pencegah haid kecuali jika dianggap perlu.
Karena membiarkan sesuatu secara alami akan lebih menjamin terpeliharanya kesehatan dan keselamatan.
Meski secara hukum boleh, namun lebih utama tidak menggunakan alat pencegah haid kecuali jika dianggap perlu.
Karena membiarkan sesuatu secara alami akan lebih menjamin terpeliharanya kesehatan dan keselamatan.
2. Perangsang Haid
Diperbolehkan
juga penggunaan alat perangsang haid, dengan dua syarat:
a. Tidak menggunakan alat tersebut dengan
tujuan menghindarkan diri dari suatu kewajiban. Misalnya, seorangwanita
menggunakan alat perangsang haid pada saat menjelang Ramadhan dengan tujuan
agar tidak berpuasa, atau tidak shalat, dan tujuan negatif lainnya.
b. Dengan seizin suami karena terjadinya
haid akan mengurangi kenikmatan hubungan suami isteri. Maka tidak boleh bagi si
isteri menggunakan alat yang dapat menghalangi hak sang suami kecuali dengan
restunya. Dan jika si isteri dalam keadaan talak, maka tindakan tersebut akan
mempercepat gugurya hak rujuk bagi sang suami jika ia masih boleh rujuk
3. Pencegah Kehamilan
Ada dua macam
penggunaan alat pencegah kehamilan:
a. Penggunaan alat yang dapat mencegah
kehamilan untuk selamanya. Ini tidak boleh hukumnya, sebab dapat menghentikan
kehamilan yang mengakibatkan berkurangnya j~rmlah ketunaan Dan hal ini
bertentangan dengan anjuran Nabi shallallahu alaihi wasalam agar
memperbanyakjumlah umat Islam, selain itu bisa saja anak-anaknya yang ada
semuanya meninggal dunia sehingga ia pun hidup menjanda seorang diri tanpa
anak.
b. Penggunaan alat yang dapat mencegah
kehamilan sementara. Contohnya, seorang wanita yang sering hamil dan hal itu
terasa berat baginya, sehingga ia ingin mengaturjarak kehamilannya menjadi dua
tahunsekali. Maka penggunaan alat ini diperbolehkan dengan syarat: seizin
suami, dan alat tersebut tidak membahayakan dirinya Dalilnya,bahwa para sahabat
pernah melakukan 'azl terhadap isteri mereka pada zaman Nabi shallallahu alaihi
wasalam untuk menghindari kehamilan dan Nabi shallallahu alaihi
wasalam tidak melarangnya. 'Azl yaitu tindakan - pada saat bersenggama -
dengan menumpahkan sperma diluar farji (vagina) si isteri.
4. Penggugur Kandungan
Adapun penggunaan alat penggugur
kandungan, ada dua macam:
a. Penggunaan alat penggugur kandungan yang bertujuan
membinasakan janin. Jika janin sudah mendapatkan ruh, maka tindakan ini tak
syak lagi adalah haram, karena termasuk membunuh jiwayang dihormati tanpa dasar
yang benar. Membunuh jiwa yang dihormati haram hukumnya menurut Al Qur'an,
Sunnah dan ijma' kaum Muslimin. Namun,
jika janin belum mendapatkan ruh, maka para ulama berbeda pendapat dalam
masalah ini. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lagi melarang. Ada pula yang
mengatakan boleh sebelum berbentuk darah,artinya sebelum benrmur 40 hari.
Ada pula yang membolehkan jika janin belum berbentuk manusia.
Pendapat yang lebih hati-hati adalah
tidak boleh melakukan tindakan menggugurkan kandungan, kecuali jika
ada kepentingan Misalnya, seorang ibu dalam keadaan sakit dan tidak mampu
lagi mempertahankan kehamilannya, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini, ia
boleh menggugurkan kandungannya, kecuali jika janin tersebut diperkirakan telah
berbentuk manusia maka tidak boleh. Wallallahu A 'lam.
b. Penggunaan alat penggugur kandungan yang
tidak bertujuan membinasakan janin. Misalnya, sebagai upaya mempercepat proses
kelahiran pada wanita hamil yang sudah habis masa kehamilannya dan sudah
waktunya melahirkan. Maka hal ini boleh hukumnya, dengan syarat: tidak
membahayakan bagi si ibu maupun anaknya dan tidak memerlukan operasi. Kalaupun memerlukan operasi, maka dalam masalah ini ada
empat hal:
1. Jika ibu dan bayi yang dikandungnya
dalam keadaan hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi kecuali dalam keadaan
darurat, seperti: sulit bagi si ibu untuk melahirkan sehingga perlu dioperasi.
Hal itu demikian, karena tubuh adalah amanat Allah yang dititipkan kepada
manusia, maka dia tidak boleh memperlakukannya dengan cara yang
mengkhawatirkan kecuali untuk maslahat yang amat besar. Selain itu dikiranya
bahwa mungkin tidak berbahaya operasi ini, tapi temyata membawa bahaya.
2. Jika ibu dan bayi yang dikandungnya
dalam keadaan meninggal, maka tidak boleh dilakukan operasi untuk mengeluarkan
bayinya. Sebab, hal ini tindakan sia-sia.
3. Jika si ibu hidup, sedangkan bayi yang
dikandungnya meninggal. Maka boleh dilakukan operasi untuk
mengluarkan bayinya, kecuali jika dikhawatirkan membahayakan si ibu.
Sebab, menurut pengalaman-Wallallahu a'lam - bayi yang meninggal dalam
kandungan hampir tidak dapat dikeluarkan kecuali dengan operasi. Kalapun
dibiarkan terus dalam kandungan, dapat mencegah kehamilan si ibu pada masa
mendatang dan merepotkannya pula, selain itu si ibu akan tetap hidup tak
bersuami jika ia dalamkeadaan menunggu iddah dari suami sebelumnya.
4. Jika si ibu meninggal, sedangkan bayi
yang dikandungnya hidup. Dalam kondisi ini,jika bayi yang dikandung
diperkirakan tak ada harapan untuk hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi.
Namun, jika ada harapan untuk hidup, seperti sebagian tubuhnya sudah keluar,
maka boleh dilakukan pembedahan terhadap perut ibunya untuk mengeluarkan bayi
tersebut. Tetapi,jika sebagian tubuh bayi belum ada yang keluar,maka ada yang
berpendapat bahwa tidak boleh melakukan pembedahan terhadap perut ibu
untuk mengeluarkan bayi yang dikandungnya,karena hal itu merupakan tindakan
penyiksaan.
Yang benar, boleh
dilakukan pembedahan terhadap perut si ibu untuk mengeluarkan bayinya jika
tidak ada cara lain. Dan pendapat inilah yang menjadi pilihan Ibnu Hubairah.
Dikatakan dalam kitab Al Inshaf, "Pendapat ini yang lebih
utama".
Apalagi pada zaman sekarang ini,operasi bukanlah merupakan tindakan penyiksaan Karena, setelah perut dibedah, ia dijahit kembali. Dan kehormatan orang yang masih hidup lebih besar daripada orang yang sudah meninggal. Juga menyelamatkan jiwa orang yang terpelihara dari kehancuran adalah wajib hukumnya dan bayi yang dikandung adalah manusia yang terpelihara, maka wajib menyelamatkannya.
Apalagi pada zaman sekarang ini,operasi bukanlah merupakan tindakan penyiksaan Karena, setelah perut dibedah, ia dijahit kembali. Dan kehormatan orang yang masih hidup lebih besar daripada orang yang sudah meninggal. Juga menyelamatkan jiwa orang yang terpelihara dari kehancuran adalah wajib hukumnya dan bayi yang dikandung adalah manusia yang terpelihara, maka wajib menyelamatkannya.
Wallahu a'lam.
Perhatian:
Dalam hal diperbolehkannya menggunakan
alat penggugur kandungan sebagaimana di atas (untuk mempercepat proses
kelahiran), harus ada izin dari pihak pemilik kandungan, yaitu suami.
PENUTUP
Sampai di sinilah apa yang ingin kami
tulis dalam judul segala cabang dan bagian masalah serta apa yang terjadi pada
wanita dalam permasalahan ini bagai samudera tak bertepi.
Namun, orang yang mengerti tentu dapat
mengembalikan cabang dan bagian permasalahan kepada pokok dan kaidah umumnya
serta dapat mengkiaskan segala sesuatu dengan yang semisalnya.
Perlu diketahui oleh mufti (pemberi
fatwa), bahwa dirinya adalah penghubung antara Allah dan para hamba-Nya dalam
menyampaikan ajaran yang dibawa RasuI-Nya dan menjelaskannya kepada mereka. Dia
akan ditanya tentang kandungan Al Qur'an dan Sunnah, yang keduanya merupakan
sumber hukum yang diperintahkan untuk dipahami dan diamalkan. Setiap yang
bertentangan dengan Al Qur'an dan Sunnah adalah salah, dan wajib ditolak
siapapun orang yang mengucapkannya serta tidak boleh diamalkan, sekalipun orang
yang mengatakannya mungkin dimaafkan karena berijtihad dan mendapat pahala atas
ijtihadnya, tetapi orang lain yang mengetahui kesalahannya tidak boleh menerima
ucapannya.
Seorang mufti wajib memurnikan niatnya,
semata-mata karena Allah Ta'ala, selalu memohon ma'unah-Nya dalam segala
kondisi yang dihadapi, meminta ke hadirat-Nya ketetapan hati dan petunjuk
kepada kebenaran.
Al-Qur'an dan Sunnah wajib menjadi pusat
perhatiannya. Dia mengamati dan meneliti keduanya atau menggunakan pendapat
para ulama untuk memahami keduanya.
Sering terjadi suatu permasalahan,
ketika jawabannya dicari pada pendapat para ulama tak didapati ketenangan atau
kepuasan dalam keputusan hukumnya, bahkan mungkin tidak diketemukan jawabannya
sama sekali. Akan tetapi setelah kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah tampak
baginya hukum permasalahan itu dengan mudah dan gamblang.Hal itu sesuai dengan
keikhlasan, keilmuan dan pemahamannya.
Wajib bagi mufti bersikap hati-hati dan
tidak tergesa-gesa dalam memutuskan hukum manakala mendapatkan sesuatu yang
rumit. Betapa banyak hukum yang diputuskan secara tergesa-gesa, kemudian
setelah diteliti ternyata salah. Akhirnya hanya bisa menyesali dan mungkin
fatwa yang terlanjur disampaikan tidak bisa diluruskan.
Seorang mufti jika diketahui bersikap
hati-hati dan teliti, ucapanmya akan dipercaya dan diperhatikan. Tetapi jika
dikenal ceroboh yang seringali membuat kekeliruan, niscaya fatwanya tidak
akan dipercaya orang. Maka dengan kecerobohan dan kekeliruannya dia telah
menjauhkan dirinya dan orang lain dari ilmu dan kebenaran yang diperolehnya.
Semoga Allah Ta'ala menunjukkan kita dan
kaum Muslimin kepada jalan-Nya yang lurus, melimpahkan inayah-Nya dan menjaga
kita dengan bimbingan-Nya dari kesalahan.
Sungguh, Dia Maha Pemurah lagi Maha
Mulia. Salawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi kita
Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Puji bagi Allah,
dengan nikmat-Nya tercapailah segala kebaikan.
***
Dicopy
dari http://www.alsofwah.or.id/kajian/index.php?kd_judul=003&article_title=Darah%20Kebiasaan%20Wanita.
Disadur : Maktabah Ummu Salma al-Atsariyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar