Oleh: Ust.
Abdurrohman al-Buthoni.
Islam memberi bimbingan yang berharga kepada orang tua khusunya tentang apa
yang harus mereka lakukan demi kemaslahatan anak-anak mereka sejak di dalam
rahim. Terlebih lagi jika mereka mengingat hadits Rasululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam seperti sabdabya
tentang janin setelah ditiupkan roh di perut ibunya lalu ditulis baginya
rezeki, amal, celaka atau bahagia (HR.Bukhori 6594 dan Muslim 2643). Maka hal
ini akan menjadikan orang tua semakin bersemangat keras untuk mengusahakan
sebab-sebab tercapainya kebahagiaan anak mereka, karena Alloh tidak menjadikan
kebahagiaan dan kebinasaan kecuali menjadikan pula sebab-sebab yang menuju
kepada keduanya.
Sebagai contoh, keluarga Imron yang sholih, isterinya yang sholihah
mengandung seorang bayi, ia sangat berharap kepada Alloh untuk kebahagiaan apabila
anak yang dikandungnya lahir sebagai anak laki-laki maka ia akan
mempersembahkannya kepada Alloh unutk menjadi pelayan di Baitul Maqdis, karena
ia bernadzar kepada Alloh:
إِذْ قَالَتِ امْرَأَةُ عِمْرَانَ
رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي
إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
(Ingatlah), ketika isteri 'Imran berkata: "Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku
menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu
terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui". (QS. Ali Imron:35)
Ini adalah pelajaran yang bermanfaat bagi pelaku tarbiyah terutama bapak
ibu, betapa pentingnya pendidikan ibu di dalam kandungan dan betapa besarnya
pengaruh postif dari kesholihan bapak dan ibu terhadap bayi yang dikandung
sebelum lahir ke alam dunia. Isteri Imron
yang berasal dari keluarga yang mulia pilihan Alloh, bersama keluarga
Ibrohim, Nuh, Adam, sangat nampak dari kisah ini bagaimana ia melakukan
sebab-sebab yang baik dalam mengharapkan keturunan yang shalih. Dia banyak berdo’a ikhlas, rajin beribadah, dan
merendahkan diri kepada Alloh Ta’ala. Oleh karena itu Alloh mengabulkan do’anya.
Berkata Syaikh Abdurrohman as-Sa’di rahimahullah: Yaitu terjadinya kecocokan antara sesama mereka dalam ciptaan akhlaq yang mulia, artinya
anak-anak, keturunan mereka mengikuti bapak-bapak mereka, sebagaimana dalam
ayat (yang artinya): Dan kami lebihkan
pula derajar sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka, dan
saudara-saudara mereka. Dan kami telah memilih mereka untuk menjadikan
nabi-nabi dan rosul-rosul, dan kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus.
(QS. Al-An’am:87)
Ini kisah dari umat-umat terdahulu. Adapun dari umat Rasululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam sangat banyak,
misalnya kisah ummu Sulaim dengan suaminya, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim dari Anas bin Malik .
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata,
"Anak laki-laki Abu Thalhah dari Ummu Sulaim meninggal dunia. Maka
isterinya berkata kepada keluarganya, “Jangan kalian beritakan kepada Abu
Thalhah tentang kematiannya, sampai aku sendiri yang mengabarkannya!”. Kemudian
Abu Thalhah pun datang dan dihidangkan kepadanya makan malam, maka ia pun makan
dan minum”.
Sang istri kemudian berdandan bahkan lebih indah
dari waktu-waktu sebelumnya. Setelah dia merasa, bahwa Abu Thalhah telah
kenyang dan puas dengan pelayanannya, sang isteri bertanya, “Wahai Abu Thalhah,
bagaimana pendapatmu tentang suatu kaum yang meminjamkan sesuatu kepada sebuah
keluarga, lalu mereka mengambil barang yang dipinjamkannya, apakah mereka
berhak menolaknya?” Ia berkata, “Tidak (berhak)!” “Jika demikian, maka mintalah
pahalanya kepada Allah Ta’ala tentang puteramu (yang telah diambil-Nya
kembali)”, kata sang istri. Suaminya berkata, “Engkau biarkan aku, sehingga aku
tidak mengetahui apa-apa, lalu engkau beritakan tentang (kematian) anakku?”
Setelah itu, ia pun mendatangi Rasulullah, lalu
ia ceritakan apa yang telah terjadi. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Semoga Allah Ta’ala memberkahi kalian berdua tadi
malam”. Lalu isterinya mengandung dan melahirkan seorang anak. Kemudian Abu
Thalhah berkata kepada istrinya, 'Bawalah dia kepada Nabi'. Lalu dia juga
bawakan untuknya beberapa buah kurma. Nabi lalu mengambil anak itu seraya
berkata, 'Apakah dia membawa sesuatu?'” Mereka berkata, “Ya, beberapa buah
kurma”. Nabi kemudian mengambilnya dan mengunyahnya, lalu diambilnya dari
mulutnya, kemudian diletakkannya di mulut bayi itu dan beliau
menggosok-gosokkannya pada langit-langit mulut bayi itu, dan beliau menamainya
Abdullah'." (HR. al-Bukhari, 9/587 dalam al-Aqiqah, Muslim no. 2144).
Syahid yang kita ambil dari kisah ini adalah perkaaan Rasululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam:
“Semoga Allah Ta’ala
memberkahi kalian berdua tadi malam”.
Ini menunjukkan begitu besar perhatian Rasululloh
shallallahu
‘alaihi wa sallam terhadap pendidikan anak yang ditunjukkan pada Ummu Sulaim sejak anak
mulai dari setetes air dalam rahim ibunya.
Petunujuk Rasululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam mengauli isterinya yaitu do’a: “Dengan nama Alloh. Ya Alloh
jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau
karuniakan kepada kami.”(HR. Bukhari:5165), karena kata Rasululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam di akhir hadits: “Apabila Alloh mentaqdirkan dari pergaulan tersebut
maka tidaklah akan disentuh oleh setan karena setiap anak yang lahir pasti
menangis karena tusukan syetan.”
Sungguh, alangkah menankjubkan hikmah ilahiyah
yang menghubungkan antara kesholihan bapak dengan ibunya selagi di alam kandungan.
Karena itu, sangatlah patut bagi orang tua, khususnya para ibu selagi dalam
masa hamil hendaknya:
-Mereka
bersabar dari segala macam musibah baik sakit kekurangan, kematian anak
keluarga atau lain-lain.
-Hendaknya
mereka banyak beramal shalih, berdo’a, berdzikir, tilawah al-Qur’an, tholabul
ilmi, shodaqoh, dan amalan-amalan sunnah dengan ikhlas, tawakal, penuh
pengharapan akan lahirnya anak yang sholih. Sesungguhnya Alloh Maha
Mendengar Lagi Maha Mengetahui.
Dan kebalikannya,
bahwa kecenderungan seorang ibu yang sedang hamil kepada kebatilan, senang
dengan tontonan batil, pendengaran batil, dan lalai dengan hukum-hukum Alloh
dan Rasul-Nya akan berpengaruh negatif pada bayi yang ada dalam kandungannya. Fakta kedokteran
membuktikkan bahwa wanita hamil yang banyak tingkah, bayi yang akan
dikandunganya akan ikut bertingkah banyak. Sedangkan
wanita hamil yang banyak diam dan tenang, bayinya ikut tenang tidak banyak
bertingkah. Ini adalah hubungan antara ibu dengan bayi secara jasmani yang
tentunya hubungan keduanya secara rohani demikian juga, bahkan lebih, karena
roh lebih berpengaruh terhadap jasad ketimbang sebaliknya.
Sesungguhnya Sahl at-Tusturi telah mendidik
anak-anaknya semenjak masih dalam sulbinya, maka ia selalu beramal
sholeh dengan harapan agar Alloh memerikan kepadanya dengan anak yang shalih
seraya berkata: “Sesunggunya aku memegang janji Alloh yang diambil oleh Alloh
kepadaku sejak di alam arwah dan sesunggunya aku memelihara anak-anaku mulai
saat itu hingga mereka dikeluarkan oleh Alloh ke alam dunia.”
Nabiyullah al-Khidir membangun tembok secara
sukarela bersama Nabiyullaoh Musa dan keduanya tidak meminta upah. Takala Nabi
Musa berkata kepadanya: “Seandainya engkau mengambil upah dari pekerjaan ini”,
beliau (khidir) menjawab: “Adapun dinding rumah itu adalah kepunyakan dua anak
yatim di kota itu dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua
sedang ayah mereka adalah seseorang yang sholih.” (QS. al-Kahfi:82).
Ibnu Kastir berkata: “ini adalah dalil bahwa
orang shalih dijaga keturunannya oleh Alloh dan barokah ibadahnya meliputi mereka
di dunia dan akherat dengan syafaatnya buat mereka dan Alloh mengangkat derajat
mereka setinggi-tingginya di surga sehingga ia bertambah kebahgaiaannya sebagaimana
hal ini diterangkan dalam al-Quran dan as-sunnah. Untuk menjaga kemaslahatan pendidikan
janin dalam kandungan, maka syariat memberi keringanan bagi wanita hamil untuk
tidak berpuasa pada bulan ramadhon apabila ia khwatir terhadap janinnya. Dari
Ibnu Abbas, dia berkata: “Apabila wanita hamil khawatir terhadap kemaslahatan
dirinya atau bayi yang dikandungnya di bulan ramadhon maka ia berbuka dan
memberi makan setiap hari seorang miskin dan tidak menqodho puasa. (baihaqi
4/230 dengan sanas yang kuat).
Sumber:
Majalah al-Mawaddah, edisi 5 Tahun ke-1: dzulqo’dah-Dzulhijjah
1428H: Desember 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar